Belajar Sejarah di Arsip Nasional Membuat Betah

Aang SunadjiAang Sunadji - Selasa, 31 Maret 2015
Belajar Sejarah di Arsip Nasional Membuat Betah
Inilah situasi diruangan Arsip Nasional Republik Indonesia (Foto: MerahPutih/Achmad)

MerahPutih Nasional- Ada yang mengatakan bahwa belajar sejarah itu membosankan. Namun ada caranya agar belajar sejarah betah. Padahal sejarah itu sangat penting guna mengetahui perjalanan sejak dahulu hingga kini. Bagaimanakah agar sejarah tersebut mengasyikan?

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tempatnya. Di tempat inilah akan mendapatkan pengetahuan yang luas. Apalagi Lembaga penyelamat dokumen-dokumen penting sejarah bangsa ini menawarkan beragam koleksi yang menarik untuk dikunjungi.

Dari gedung A, Anda akan memulai perjalanan dengan sebuah relief bergambar enam Presiden Indonesia sedang tersenyum. Selanjutnya, Anda akan disuguhi berbagai duplikat prasasti yang mirip dengan aslinya. (Baca: Mengintip Proses Pengawetan Arsip Kuno)

"Paling tua prasasti dari Kutai, telapak Kaki Raja Purnawarman tahun 500an. Ini replika disesuaikan dengan aslinya, telapak kakinya satu banding tiga dengan aslinya," kata Direktur Layanan dan Pemanfaatan ANRI, Agus Santoso, pada merahputih.com, dikomplek ANRI, Jakarta, Selasa (31/3).

Pada ruangan berikutnya Anda akan disuguhi sebuah layar dan bola dunia bergambar peta Indonesia. Pada layar tersebut Anda dapat mengetahui penjelasan mengenai pahlawan Indonesia. Namun, layar ini hanya menampilkan nama pahlawan yang sudah ditetapkan dalam Keputusan Presiden.

Nah untuk ruangan berikutnya, pastinya ada yang lebih menarik lagi. Apa itu? Di sini para pengunjung ANRI dapat mendengarkan pidato enam Presiden.

"Yang lucu-lucu dari Gusdur ada di sini," kata Agus sambil menunjuk replika mantan Presiden Abdurrahman Wahid. 

Anda dapat melihat juga tiga naskah surat perintah 11 Maret (Supersemar). Ketiganya memiliki perbedaan, baik bentuk maupun pola penulisan. Selain itu, dalam salah satu sudut dinding diorama ini juga ditampilkan hasil dari Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang selama ini menjadi perdebatan.

"Kebanyakan yang berkunjung TK, SMP, SMA. Jumlahnya tidak tentu, bahkan kalau datang sampai tiga bus. Masuk gratis," pungkas Agus. (mad)

 

 

#Arsip Nasional RI #Sejarah Indonesia
Bagikan
Ditulis Oleh

Aang Sunadji

Coffee is a life
Bagikan