MerahPutih.com - Dorongan revisi UU Pemilu terus digaungkan anggota dewan dan publik, tertutama berkaca pada masalah yang terjadi di Pemilu 2019 dan sangat berpotensi terulang lagi pada Pemilu 2024.
Organisasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai masalah yang bisa muncul satu diantaranya, beban kerja yang tinggi dengan pemilu lima kotak sekaligus yakni pemilihan presiden/wakil presiden, anggota DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, serta DPRD kabupaten/kota akan kembali dihadapi penyelenggara pemilu.
Baca Juga:
DPR Isyaratkan Tidak Mungkin Revisi Presidential Threshold Sebelum Pilpres 2024
Selain itu, desakan revisi juga muncul untuk mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT). Bahkan, gugatan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, khususnya terkait besaran PT telah diajukan oleh Anggota DPD.
Namun, koalisi pemerintah, belum ada kesepakatan terkait revisi, terutama untuk mengubah PT. Selain, partai pendukung pemerintah juga masih saling bersebrangan antara yang tetap menginginkan PT tetap 20 persen dan yang ingin diturunkan atau dihilangkan.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad berkilah, pihalnya bukan tidak mau mendengarkan aspirasi masyarakat, tapi revisi UU itu pada tahun 2017, sudah berdasarkan aspirasi masyarakat.
"Revisi dilakukan saat ini, maka akan mengganggu tahapan pemilu yang sudah berjalan. Selain itu, revisi UU membutuhkan waktu yang cukup lama. Jadi, bukannya kita tidak aspiratif," ujarnya.
Politisi Partai Gerindra menegaskan, jika revisi UU Pemilu kemungkinan tetap akan dilakukan pascapelaksaan Pemilu 2024.
Ia menegaskan, terkait persentase ambang batas pencalonan, Dasco menegaskan Partai Gerindra akan mengikuti sesuai dengan aturan perundang-undangan.
Wakil Ketua Umum DPP PKB, Jazilul Fawaid, menilai penurunan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) dapat mencegah terjadinya politik identitas. Sehingga partainya mengusulkan menjadi 5-10 persen.
Dia mengatakan, PKB mengajak parpol lainnya untuk bersama-sama menyuarakan adanya revisi terbatas UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, khususnya terkait besaran PT.
"Jika presidential threshold diturunkan, itu memungkinkan tercegahnya politik identitas dan munculnya calon-calon yang diturunkan. Tapi (revisi UU Pemilu) terbatas pada presidential threshold, jangan juga kepada parliamentary threshold," katanya.
Ia menilai, penurunan PT selain mencegah politik identitas dan polarisasi seperti yang terjadi pada Pemilu 2019, dapat membuat pilihan publik semakin beragam sehingga lebih kompetitif.
"Melihat solidnya koalisi parpol saat ini, jika dikehendaki bersama maka revisi terbatas UU Pemilu sangat mungkin dilakukan," katanya.
Baca Juga:
Politikus PDIP : Penurunan Presidential Threshold Tidak Perlu Diteruskan