BANYAK anak, banyak rezeki. Ungkapan ini tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Menurut Latifatul Izzah, peneliti dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, ungkapan ini mengemuka sejak masa cultuurstelsel atau sistem tanam paksa berlangsung dalam kurun 1830-1870.
"Kebijakan cultuurstelsel yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada masyarakat petani di wilayah Jawa khususnya Karesidenan Madiun berdampak pada tingginya angka demografis," sebut Latifatul dalam "Munculnya Filosofi 'Banyak Anak Banyak Rizki' pada Masyarakat Jawa Masa Cultuurstelsel", termuat di Prosiding Seminar Nasional 2017 Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Komisariat Universitas Negeri Yogyakarta.
Peningkatan angka demografis dibikin sengaja. Tujuannya memenuhi kebutuhan tenaga kerja pada sektor agroindustri atau tanaman perkebunan yang laku di pasaran dunia.
Pemerintah Kolonial mengerek produksi tanaman perkebunan untuk mencukupi keuangan mereka. Mereka juga membebankan pajak kepada para petani yang tidak bisa menanam tanaman yang laku di pasaran dunia.
Baca juga:
Pentingnya Membenahi Diri Sebelum Menjadi Orangtua

Karena itulah, petani harus memiliki tenaga kerja untuk menghindari mereka dari beban pajak. Tenaga kerja dapat diperoleh dari mempunyai banyak anak. "Kondisi ini mengakibatkan munculnya filosofi 'Banyak Anak Banyak Rizki'," terang Latifatul.
Selanjutnya konteks sosial-politik-ekonomi tersebut berkelindan dengan budaya gotong-royong masyarakat Indonesia. Budaya ini cenderung mengharapkan bantuan dari orang terdekat.
Ketika zaman berubah, pandangan banyak anak banyak rezeki masih bertahan. Imbasnya pada pola didik dan kebiasaan berharap orangtua pada anaknya, yang menganggap bahwa dengan banyaknya anak, orangtua akan mendapat banyak rezeki ketika anak sudah tumbuh dewasa dan mulai berpenghasilan atau bekerja.
Banyak anak yang dijadikan sebagai jaminan kesejahteraan orangtua pada masa tua, menganggap bahwa anak kelak dapat diandalkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan orangtua ketika sudah senja. Kebiasaan itu sejalan dengan ungkapan bahwa banyak anak banyak rezeki.
Baca juga:
Orangtua Jadi Tameng Pelindung Anak dari Kejahatan Siber

Namun, memiliki banyak anak tak selalu berarti banyak rezeki di masa dewasa ini. Bahkan, banyak anak banyak rezeki bisa jadi penyebab munculnya sandwich generation. Mereka yang hidup terjepit antara harus membiayai kebutuhan dirinya, kebutuhan orangtua, dan kebutuhan keluarganya sendiri.
Lebih buruk lagi, anak tak selalu bisa diandalkan untuk dapat membiayai orangtua ketika di masa tua. Sementara, saat masa sekolah, orangtua sudah habis biaya untuk membiayai pendidikan anak, dan akhirnya tidak sempat waktu untuk mengumpulkan dana pensiun.
Ungkapan kuno itu mulai kurang relevan lagi sekarang karena nilai berbagai barang sudah meningkat drastis ketimbang beberapa tahun lalu. Belanda pun sudah tak lagi menjajah Indonesia. Memiliki banyak anak pada masa kini harus betul-betul menyiapkan keuangan untuk membiayai pendidikan, kebutuhan pangan, sandang, dan lainnya yang sudah berkali-kali lipat lebih mahal.
Ini pula yang akhirnya kini mendorong generasi milenial atau muda untuk hidup lebih baik dari para orangtua, terutama dalam aspek finansial dan pola mendidik anak. Program Keluarga Berencana (KB) oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), mendorong masyarakat untuk memiliki maksimal dua anak.
Saat ini, mulai banyak pula diskusi finansial yang mendorong generasi muda untuk memiliki dana pensiun demi masa tua yang lebih baik dan independen. Kebiasaan mengharapkan anak agar dapat diandalkan untuk membiayai orangtua pada masa senjanya juga perlahan surut. (waf)
Baca juga:
Asyiknya Nonton Konser sama Orangtua