Merahputih.com - Pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang menyebut sejumlah pelaku usaha berharap Pilpres 2024 ditunda menuai polemik.
Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid menilai, wacana tersebut selain tak sesuai dengan ketentuan konstitusi (UUD NRI 1945), juga tak kondusif bagi iklim berusaha.
Menurut pria yang akrab disapa HNW ini, usulan tersebut memantik polemik yang bisa hadirkan ketidakpastian hukum sehingga gerak ekonomi dan investasi tidak kondusif untuk berkembang.
Baca Juga:
Politikus Demokrat Sebut PPHN Cukup Diatur UU Tidak Perlu Amandemen UUD
“Karena ketentuan soal masa jabatan Presiden itu bukanlah domainnya Pengusaha, melainkan UUD 1945. Aturan-aturannya pun sangat jelas dan tegas," kata HNW dalam keteranganya, Selasa (11/1).
HNW mengingatkan, dalam Pasal 7 UUD NRI 1945 hanya membolehkan Presiden menjabat maksimal dua periode, dan pasal 22E mengamanatkan agar Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
"Artinya sudah fixed, tidak ada alternatif konstitusional untuk perpanjangan menjadi 3 periode, maupun penambahan 3 tahun untuk periode ke dua karena itu tidak sesuai dengan Konstitusi,” papar HNW.
Apalagi, untuk bisa mengubah ketentuan UUD itu, kewenangannya sesuai dengan UUD adanya di MPR (pasal 37), dan di MPR tidak ada agenda perubahan UUD untuk memperpanjang masa jabatan Presiden.

Dan tidak ada satu pun anggota MPR yang mengusulkan perubahan itu, padahal UUD mengatur jumlah syarat minimal jumlah pengusul yaitu 1/3 anggota MPR yaitu 237 Anggota MPR.
Ia meminta, ketentuan Konstitusi ini harus ditaati dan dihormati semua warga, termasuk dari kalangan pengusaha. Apalagi pandemi COVID-19 juga terjadi di semua negara demokratis, seperti Amerika Serikat, Iran, New Zealand, dengan segala dampak sosial dan ekonominya.
"Tapi tak ada yang karena alasan ekonomi akibat COVID-19 kemudian mengubah konstitusinya untuk menambahkan masa jabatan bagi Presiden” ujar HNW.
Menurut Hidayat, usulan tersebut justru akan merugikan dunia usaha sendiri, lantaran akan bisa memunculkan ketidakpastian hukum, sesuatu yang tidak disukai oleh dunia usaha.
Belum lagi polemik yang timbul di masyarakat bisa memberikan guncangan pada stabilitas sosial-politik yang berdampak negatif ke dunia usaha di Indonesia juga.
“Usulan tersebut justru paradoks dengan tradisi dunia usaha yang selama ini justru menuntut hadirnya kepastian hukum, agar bisnis dan investasi lancar,” lanjutnya.
Baca Juga
Apalagi, lanjut Hidayat, berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia dan survey-survey lainnya, mayoritas masyarakat Indonesia menolak perpanjangan masa jabatan Presiden.
Penolakan tersebut terjadi lebih tinggi di kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan soal ketentuan masa jabatan Presiden sebagaimana yang tercantum di Konstitusi.
Jika ada yang menginginkan perpanjangan periode Presiden dan penundaan Pemilu karena faktor ekonomi, maka tentu wawasan kebangsaan dan pemahaman konstitusinya perlu ditingkatkan.
"Kami di MPR siap untuk mensosialisasikan pemahaman berkonstitusi secara benar itu kepada dunia usaha,” ujarnya.
HNW juga mengingatkan bahwa selama pandemi COVID-19, dunia usaha sudah ‘dimanjakan’ oleh APBN melalui beragam bantuan dan insentif yang jumlahnya meningkat dari tahun 2020 ke tahun 2021.
Pada tahun 2020, anggaran PEN untuk Korporasi-UMKM dan insentif usaha sebesar Rp 170 Triliun. Pada tahun 2021, anggaran tersebut meningkat menjadi Rp 230 Triliun.
Baca Juga:
Soal Amandemen Konstitusi, Politisi Golkar Singgung Kudeta di Guinea
Ia berharap, keberpihakan Negara kepada dunia usaha tersebut seharusnya membuat dunia usaha membalas dengan kontribusi nyata bangkitnya ekonomi dan lancarnya investasi.
"Tidak malah melemparkan usulan yang kontroversial, polemis, menabrak konstitusi dan karenanya tidak kondusif untuk memperbaiki dunia usaha," tutup HNW. (Knu)