ROMBONGAN jemaah haji asal Indonesia hari ini (5/6) tiba di Madinah untuk melakukan perjalan suci ke Mekkah sebagai kelompok jemaah pertama setelah dua tahun urung berangkat haji karena pandemi.
“Hari ini kami menerima kelompok pertama jemaah haji tahun ini dari Indonesia, dan penerbangan akan dilanjutkan dari Malaysia dan India,” kata Ministry of Hajj and Umrah for Visit Affairs Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Abdul Rahman Al Bijawi pada saluran televisi Al-Ekhbariya, dilansir Al Jazeera.
Baca juga:
Tradisi "Besaran", Ziarah Makam Wali Dianggap Setara Naik Haji
Sebanyak 1.506 calon jemaah haji diterbangkan melalui tiga rute penerbangan, Jakarta-Madinah, Solo-Madinah, dan Padang-Madinah. Masing-masing penerbangan menggunakan pesawat A330-900 Neo (GA6101 & GA6102) dengan kapasitas 365 penumpang.
Perjalanan jemaah haji di masa kini jauh lebih cepat ketimbang sebelum menggunakan pesawat terbang. Butuh tempo berbulan-bulan bagi para jemaah haji masa lalu terombang-ambing gelombang di laut lepas, sembari menaruh harap tetap sehat dan selamat agar bisa tiba di Tanah Suci.
KH Abdussamad, jemaah haji asal Kalimantan Selatan, memberikan gambaran betapa perjalanan haji di masa lalu butuh perjuangan. Perjalanan haji Abdussamad kala itu terjadi di tengah masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, bahkan beriringan juga dengan lahirnya fatwa tegas Ketua Umum Partai Masjumi KH Hasjim Asjari pada 1947, tentang tidak mewajibkan perjalanan haji bahkan dianggap haram selama perang berlangsung.

Meski begitu, para jemaah tetap melaut menuju Mekkah. Abdussamad menceritakan gambaran keseharian para jemaah di atas kapal nan memuat 1.000 jemaah selama 6 bulan. Banyak jemaah hanya mendapat tempat berukuran 60 x 100 sentimeter. Sementara sekira 150 jemaah malah tak mendapat pembaringan. Masing-masing berusaha mencari tempat istirahat di bawah tangga, bahkan di balik mesin pengangkat.
Mereka bukan tinggal di bangsal kapal, melainkan palka tempat menaruh barang-barang. Sebagian jemaah bahkan mabuk laut karena diterjang ombak besar, ditambah hujan lebat sering turun berhari-hari.
Para jemaah menjadi lumrah melihat saban hari jenazah dilempar ke laut. “Sejak tinggal di Jeddah 3-4 hari dan sejak beberapa hari di lautan, hampir tiap-tiap hari ada saja saudara-saudara haji sampai ajalnya pergi, pulang menghadap Tuhannya,” tulis KH Abdussamad, pada Melawat ke Mekkah (Menunaikan Hadjdji), 1367 H, 1948.
Baca juga:
Di lain pelayaran, di masa lebih awal dari perjalanan Abdussamad, Bupati Bandung RAA Wiranatakusumah, dalam Perdjalanan Saja ke Mekkah, turut pula menerakan kisah pilu para jemaah haji pada 1925.
Lagi-lagi, kisah ruang istirahat nan sempit kembali muncul. Di kapal, kapten membagi penumpang dalam kelompok sesuai kloter, masing-masing berisi 200 orang, dan sang bupati menjadi ketua rombongan jemaah Bandung.
Para jemaah, menurut kesaksian sang bupati, mendapat kamar sempit hingga berisi 15 orang, sampai sumpek-sumpekan pada satu kamar. Di salah satu kamar, terdapat sebuah keluarga, ibu dan bapak dengan empat anak. Mereka tinggal di ruang gelap, sempit, dan kotor. Terkadang derita mereka masih ditambah suara tangis sang anak.
Selain ruang istirahat, para jemaah pun tak cukup mendapat persediaan makanan. Mereka kemudian masak sendiri. Terkadang para tukang masak mencuri sebagian daging para jemaah kemudian dijual, dan air panas semestinya gratis pun dijual.

“Kasihan anak-anak semuda itu telah terpaksa merasai kesempitan hidup di dunia lapang ini,” tulis Wiranatakusumah.
Pada perjalanan pulang, kisah pilu kembali berulang. Kapal Situbondo nan sudah siap membawa sang bupati dan para jemaah menuju Hindia tampak bersandar begitu lama padahal para jemaah sudah kepanasan berbondong-bondong antre mau masuk.
“Berjam-jam mereka berpanas menantikan pas-nya. Pegawai konsol itu bekerja dengan rajin dan sungguhnya. Akan tetapi karena mereka tidak berapa orang maka tiada dapatlah mereka menolong jemaah-jemaah itu dengan lekasnya,” tulis sang bupati.
Sang bupati mendapat cerita macam-macam dari teman sejawat di atas kapal saat perjalanan pulang. “Bilangan orang mati pun bertambah," tukas temannya. Wiranatakusumah melihat pula perbedaan para jemaah saat pulang lebih tertib ketimbang berangkat, meski hawa sangat panas.
Kapal pun angkat sauh. “Maka sangatlah rindunya saya akan kota tempat tumpah darah saya,” tutup sang bupati. (*)
Baca juga:
Meski Perang Jawa Libur Selama Puasa, Siasat Melumpuhkan Diponegoro Justru Gencar Dilakukan (1)