SEORANG lelaki gempal memegang pedang panjang. Dia berjalan santai tengah hari bolong sambil memegang pundak temannya. Sesekali dia melihat ke arah belakang. Temannya lalu mengeluarkan sesuatu dari balik jaket hitamnya. Sebuah golok panjang.
Itulah sepenggal video yang tersebar luas di media sosial. Video itu mengambil tempat di Babarsari, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Saat itu ada bentrok antar kelompok (4/7). Polisi telah menetapkan dua tersangka atas kasus tersebut.
Nama Babarsari bergema beberapa hari di Twitter dan menjadi trending topic. Seorang warganet menyebut Babarsari sebagai "Gotham City". Alasannya, bentrok antar kelompok pernah terjadi beberapa kali sebelumnya.
Babarsari semula hanyalah sebuah desa pinggiran Yogyakarta. Warganya mayoritas mengandalkan pertanian sebagai topangan ekonomi. Ritme kehidupan masih monoton. Namun, karena perkembangan kota, perubahan struktur fisik kota, urbanisasi, dan perubahan fisik kota, Babarsari berubah secara bertahap.
Baca juga:
APBD Kota Yogyakarta 2022 Fokus Pengembangan Infrastruktur Pariwisata

Salah satu tonggak yang menandai perubahan tersebut adalah pembangunan kampus Akademi Teknologi Nasional (ATNAS) pada 1973. Kampus lainnya menyusul berdiri di Babarsari seperti Universitas Atmajaya pada 1983 dan Universias Pembangunan Nasional Veteran (UPN-Veteran) pada 1990-an.
Hingga 1990-an, sudah ada 10 kampus swasta di Babarsari. Pernah ada usulan untuk menjadikan Babarsari sebagai kompleks Universitas Swasta, tapi usulan itu menguap begitu saja. Meski begitu, pembangunan kampus-kampus memicu perkembangan kawasan secara pesat.
"Pada kawasan Babarsari terdapat beberapa kampus sehingga memicu perkembangan kawasan di sekitarnya," catat Tutik Rahayu Ningsih dalam "Pengaruh Keberadaan Kampus Terhadap Perubahan Fisik Kawasan di Sekitarnya", termuat di Jurnal Pengembangan Kota Vol 5, No 2, Tahun 2017.
Selain kampus, kehadiran infrastruktur jalan berupa ringroad turut mengubah kondisi Babarsari. Dari yang tadinya desa pertanian, Babarsari menjelma wilayah perkotaan (urbanisasi). Proses ini memicu lagi perubahan di sektor penggunaan lahan.
Lahan pertanian mulai menciut, berganti dengan permukiman untuk mahasiswa seperti rumah kos, kontrakan, atau asrama. Permukiman itu mendorong lagi tumbuhnya bidang jasa dan usaha yang berkaitan dengan kebutuhan mahasiswa seperti warung makan, rental komputer, dan binatu.
Perkembangan fisik kawasan itu merangsang pula perubahan karakteristik masyarakat. Dulunya masyarakat di sini sebagian besar berasal dari Yogyakarta. Kehadiran kampus membuat Babarsari jadi lebih heterogen.
"Puluhan ribu mahasiswa dari berbagai daerah secara langsung maupun tidak langsung telah menggerakkan kehidupan ekonomi kawasan tersebut, dan hal ini memicu pergerakan sosial ekonomi di daerah ini dan memunculkan budaya dengan latar belakang yang yang berbeda-beda antar penduduknya, dan hal ini dapat direspons dengan baik atau tidak baik oleh masyarakat," terang FM Akbar dalam "Asrama Inklusif Mahasiswa Babarsari Depok Sleman".
Pesatnya perkembangan Babarsari juga merangsang munculnya kriminalitas. Banyak rumah kos, asrama, dan kontrakan kurang memperhatikan segi keamanan. "Badan Pusat Statistik memberikan data tentang tingkat kriminalitas di daerah Babarsari Kecamatan Depok yang tinggi tiap tahun," tambah FM Akbar.
Baca juga:
Jalan-jalan ke Wijilan, Pusatnya Gudeg di Yogyakarta

Isu kriminalitas menyangkut pula isu rasisme. Inilah yang sering menjadi pemicu bentrok di Babarsari. Isu itu makin kencang berhembus karena tak ada upaya untuk menciptakan ruang bersama yang mampu bekerja meredam isu tersebut.
Derajad Sulistyo Widhyharto, Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan bahwa Babarsari membutuhkan fasilitas-fasilitas mahasiswa seperti penyediaan co-working space, bukan justru fasilitas yang dapat mengundang konflik.
"Akan tetapi, kalau yang tumbuh kemudian adalah karaoke, hotel-hotel, apartemen 'kan tidak ada bedanya dengan Jakarta, Surabaya, dan lain-lain," kata Derajad, seperti dikutip Antara.
Derajad menambahkan, sebagai kota pelajar, Yogyakarta membutuhkan ketenangan. Itu bisa tercapai jika semua pihak memiliki sikap inklusif selaras dengan budaya di Yogyakarta yang menerima perbedaan suku dan adat. (dru)
Baca juga:
Putri Keraton Yogyakarta Ungkap Peran Penting Perempuan dalam Tugas Kerajaan