MerahPutih.com - Kementerian Keuangan telah mengluarkan PMK Nomor 68 Tahun 2022, pemerintah mengatur tiga bentuk penyerahan barang kena pajak (BKP) tak berwujud berupa aset kripto yang dikenakan PPN. Tiga bentuk tersebut yakni, pembelian aset kripto dengan mata uang Fiat, tukar menukar aset kripto dengan aset kripto lainnya atau swap, dan tukar menukar aset kripto dengan barang selain aset kripto atau jasa.
Sementara itu, atas penyerahan jasa verifikasi transaksi aset kripto dan mining pool, PPN yang harus dipungut dan disetor sebesar 10 persen dari tarif PPN umum atau 1,1 persen yang dikali dengan nilai uang atas aset kripto yang diterima penambang.
Baca Juga:
Menkeu Terbitkan PMK Atur PPN 11 Persen Buat Rokok, Fintech Sampai Kripto
Selain PPN, aset kripto juga dikenakan pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan yang diterima oleh penjual aset kripto, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik, dan penambang.
Pemerintah saat ini sudah memiliki kewenangan menunjuk Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) aset kripto atau exchanger luar negeri untuk menjadi pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Kasubdit PPN Perdagangan, Jasa & Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP Kemenkeu, Bonarsius Sipayung mengatakan, DJP sudah memiliki pengalaman menunjuk PPMSE luar negeri untuk memungut pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020.
"Dalam konteks kripto ini juga sama ya. Jadi dimungkinkan pihak luar negeri kami tunjuk. Namun tentunya setelah kami punya data," kata Bonarsius dalam jumpa media secara daring, di Jakarta, Rabu (7/4).
Bonarsius menjelaskan, penunjukan PPMSE aset kripto di luar negeri dilakukan untuk menunjukkan, pemerintah memberi perlakuan yang sama terhadap exchanger dalam negeri yang terdaftar di Bappebti dan exchanger dari luar negeri.
Ketentuan untuk menunjuk exchanger luar negeri sudah tercantum dalam PMK Nomor 68 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.

Dalam PMK itu disebutkan PPMSE yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar daerah pabean dapat ditunjuk sebagai pemungut PPN PPMSE. Pada Pasal 27 disebutkan PPMSE asing pada Pasal 10 yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN, sekaligus ditunjuk sebagai pemungut PPh. Secara umum terdapat PPN final sebesar 0,11 persen dan PPh Pasal 22 bersifat final sebesar 0,1 persen yang dikenakan atas transaksi aset kripto.
Selain itu, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) atau exchanger aset kripto yang tidak terdaftar di Bappebti harus melakukan pemungutan dan penyetoran PPN dan PPh dengan tarif 0,22 persen dan 0,1 persen.
PPMSE yang merupakan PFAK terdaftar di Bappebti memungut tarif PPN dan PPh lebih rendah atas perdagangan aset kripto karena memiliki sistem administrasi yang lebih baik sehingga dapat dipantau oleh pemerintah.
"Kalau tidak mau diatur, kena tarif lebih tinggi. Kita harus selaras dengan Kemendag, yang ada di sistem kementerian itu kita dukung dengan tarif yang lebih rendah," jelasnya.
Bonarsius menambahkan, berdasarkan data 2020 transaksi aset kripto tercatat mencapai Rp 850 triliun sehingga potensi pajaknya sekitar Rp 1 triliun dalam setahun.
"Tapi jumlah potensinya bisa naik atau turun, bergantung pada jumlah transaksi di suatu tahun seperti apa," katanya. (Asp)
Baca Juga:
Alasan Pemerintah Naikkan PPN Jadi 11 Persen