Anggapan Sastra pada Generasi Milenial

P Suryo RP Suryo R - Rabu, 25 Mei 2022
Anggapan Sastra pada Generasi Milenial
Dengan adanya media sosial ini mempermudah para generasi milenial dalam mengunggah karya-karyanya di media sosial. (Foto: Unsplash/Tamara Gak)

KESASTRAAN Indonesia semakin berkembang. Bahkan sejak lahir di tahun 1920 hingga kini tahun 2022 kesastraan Indonesia semakin modern. Sastra modern ditandai dengan munculnya sajak modern yang berjudul Tanah Air ditulis oleh Muhammad Yamin. Namun sebelumnya sudah ada sastra Melayu lama, khususnya puisi Melayu lama yang ragam utamanya berupa Pantun dan Syair yang merupakan puisi tradisional.

Sastra fiksi atau nonfiksi, dalam mengungkapkan aspek-aspek kebudayaan memiliki relevansi pada masing- masing disiplin ilmu untuk dikaji sebagai penelitian. Sastra modern misalnya novel, cerpen, biografi, puisi, soneta dan drama. Sedangkan sastra lama seperti pantun, gurindam, syair, hikayat, dongeng dan tambo. Kedua jenis sastra tersebut merupakan objek studi kultural yang kaya dengan nilai.

Baca Juga:

Sastra Diharapkan Tetap Jadi Inspirasi di Industri 4.0

sastra
Generasi milenial mulai belomba-lomba agar karyanya dilihat banyak orang. (Foto: freepik/user21852064)

Perkembangan sastra di era generasi milenial tidak bisa dipisahkan dari media sosial. Media sosial menjadi sebuah trend yang memiliki dampak yang begitu kuat terhadap perkembangan pola fikir manusia.

Tidak jarang generasi milenial memanfaatkan media sosial sebagai bahan mengekspresikan diri. Karena itulah perkembangan sastra ala milenial bisa dilihat melalui media sosial seperti munculnya unggahan kalimat-kalimat motivasi secara otomatis sudah bisa disebut motivator. Selain itu, muncul pula musikalisasi puisi yaitu dengan memadukan antara musik dan puisi, dan bahkan kini banyak digemari.

Kini orang-orang terutama generasi milenial mulai belomba-lomba agar karyanya dilihat banyak orang, bahkan membuka lebar-lebar bentuk apresiasi dan kritik saran dari para penonton.

Dilansir Psychology Today, terdapat empat alasan utama remaja menjadi maniak media sosial. Hasil penelitian Pew Research Center Study, AS, pertama, remaja senang mendapatkan perhatian. Kedua, mereka dapat meminta pendapat. Semakin banyak pujian atau sekadar “Like” membuat mereka merasa populer. Dengan kata lain, media sosial menjadi indikator kepopuleran mereka.

Ketiga, menumbuhkan citra positif. Media sosial tidak akan mampu mendeskripsikan pribadi seorang pengguna secara utuh, tapi remaja menjadikan media sosial penumbuh citra positif mereka. Keempat, kecanduan media sosial. Mereka ‘terjebak’ dalam lingkaran drama media sosial.

Tidak jarang juga banyak anak millennial yang berkomentar negatif tentang sastra, terutama dalam puisi. Seperti yang dicontohkan oleh Dihlyz Yasir dalam blognya generasi milenial seolah-olah menganggap puisi itu tak lebih dari sekedar kumpulan kata-kata indah yang hanya cocok dikonsumsi laki-laki baperan.

Baca Juga:

Bagaimana Generasi Milenial Memandang Sastra?

sastra
Media sosial menjadi sebuah trend yang memiliki dampak yang begitu kuat terhadap perkembangan pola fikir manusia. (Foto: freepik/tirachardz)

Dihlyz Yasir pun mengatakan, sikap yang memandang puisi sebagai hal yang cengeng ini bisa terjadi sebab dua hal. Pertama disebabkan oleh ketikdakpahaman mereka tentang apa itu puisi. Kedua, karena ketidaksadaran mereka bahwa pemahaman yang mengidentikkan puisi dengan kecengengan itu sebenarnya juga terbentuk oleh sejarah.

Kondisi Inggris berbeda dengan Indonesia. Di Inggris sendiri minat generasi millennial terhadap puisi melonjak. Penjualan buku puisi mencapai rekor tertingginya pada tahun 2018. Data dari Nielsen BookScan 2018 menunjukkan penjualan tumbuh lebih dari 12 persen pada tahun lalu. Andre Bredt dari Nielsen menjelaskan, penjualan buku puisi yang meledak karena adanya pergolakan dan konflik politik. Puisi dijadikan alat untuk memahami fenomena-fenomena tersebut dan sebagai alternatif untuk memahami dunia.

Solusi untuk generasi milenial lebih menyukai karya sastra harus diatasi melalui pendekatan untuk menumbuhkan minat baca. Menurut Seno Gumira Ajidarma, ada tiga mitos sastra yang harus dipatahkan. Pertama, sastra itu curhat. Kedua, bahasa sastrawan itu mendayu-dayu, rumit, asing didengar, sehingga membuat sebagian pembaca yang jarang membaca karya sastra merasa bahwa sastra bukan bagian dari bacaannya. Ketiga, sastra itu berisi pedoman hidup, petuah-petuah, nasihat-nasihat.

Namun, menurut sastrawan yang juga Guru Besar Universitas Negeri Surabaya Budi Darma mengatakan, anggapan anak muda tidak suka membaca itu tidak sepenuhnya betul. Dia mengatakan, “Anak-anak muda ini sekarang berdiri di atas dua kaki. Yang pertama mereka sangat pandai dalam mengoperasionalkan gawai. Yang kedua mereka juga suka membaca buku, meskipun buku yang dibaca masih sesuai dengan umurnya, atau sesuai dengan seleranya."

Karya sastra puisi tidak terlalu disukai oleh generasi milenial. Anggapannya bahwa puisi terlalu mendayu-dayu dan berkata lebay. Namun, penyebaran sastra di Indonesia dari tahun 2019 ini cukup meningkat, dengan adanya media sosial ini mempermudah para generasi milenial dalam mengunggah karya-karyanya di media sosial. Benar pendapat dari Seno Gumira Ajidarma, bahwa meningkatkan minat membaca para milenial dapat menjadi awal pendekatan pada karya sastra dengan mematahkan mitos dan menjadikan karya sastra semakin modern. (DGS)

Baca Juga:

Memanfaatkan Kemajuan Teknologi untuk Melestarikan Bahasa Melalui Karya Sastra

#Lipsus Mei Sastra
Bagikan
Ditulis Oleh

P Suryo R

Stay stoned on your love
Bagikan