Analis Konflik Timur-Tengah: Trump Bukan Obama, Dia Menikmati Chaos

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Selasa, 07 Januari 2020
Analis Konflik Timur-Tengah: Trump Bukan Obama, Dia Menikmati Chaos
Pelayat menghadiri pemakaman komandan pasukan elite Quds Iran, Mayor Jenderal Qassem Soleimani dan pemimpin Hashd al-Shaabi Irak atau Pasukan Mobilisasi Populer (PMF), Abu Mahdi al-Muhandis. Foto: ANT

MerahPutih.com - Analis konflik dan terorisme Timur Tengah, Alto Luger menilai Pemerintah Iran salah membaca karakter kepemimpinan Presiden Ameriksa Serikat (AS) Donald Trump yang tidak play by the book bagaimana hubungan internasional yang normal itu dilakukan.

Penilaian itu disampaikan Alto menanggapi tewasnya Perwira militer senior Iran sekaligus komandan Iran Revolutionary Guard Corps Mayor Jenderal Qasem Soleimani, akibat dihantam roket Militer AS saat turun dari pesawat yang mendarat di Bandara Baghdad, Irak.

"Aksi yang dilakukan oleh Donal Trump itu unpredictable, artinya orang sama sekali tak menduga bahwa ia melakukan peristiwa itu, yaitu tindakan yang di luar norma hubungan internasional. Karena figur yang dihantam itu salah satu pimpinan tertinggi di Iran," kata Alto kepada MerahPutih.com, Selasa (7/1).

Baca Juga

Jika AS dan Iran Perang, PA 212 Ingatkan Potensi Kemarahan Kelompok Syiah di Indonesia

Menurut Alto, Soleimani salah membaca karakter kepemimpiman Trump. Pasalnya, Soleimani terlalu yakin bahwa tidak akan ditarget militer AS sehingga berani datang ke Baghdad secara terbuka.

"Dia pikir Trump itu seperti Obama yang apologetik, bahkan cenderung takut mengambil resiko. Trump bukan Obama; Dia menikmati chaos," ujar dia.

Alto analis timur tengah
Analis konflik dan terorisme Timur Tengah, Alto Luger. Foto: Dok Pribadi

Alto menyebut tewasnya Soleimani menciptakan 'fait accompli' bagi pemerintah Iran. Jika Iran tak membalas serangan AS, maka akan dianggap hanya sekadar mengancam, namun jika Iran membalas maka mereka tahu akan berdarah-darah.

"Apalagi Trump secara langsung sudah menciptakan deteren dengan menyebut ada 52 target apabila Iran membalas," imbuhnya.

Baca Juga:

Opsi Iran Balas AS: Sakiti Israel atau Blokade Selat Hormuz

Dia menilai Proxi-proxi Iran seperti Hezbollah, HAMAS maupun Houthis juga sangat hati-hati untuk tidak terseret masuk ke dalam situasi yang 'unprecedented' ini.

"Karena tewasnya Qasem juga mengirim signal yang sangat kuat ke mereka tentang Trump, juga karena kepentingan politik domestik mereka," ungkapnya.

Saat ini, kata Alto, Iran berharap bahwa pemerintah Irak akan mendukung mereka dengan mengusir tentara AS dari Irak. Namun, menurut dia, pemerintah Irak juga sangat tahu diri. Hal ini terlihat dari opsi yang mereka keluarkan dalam sidang Parlemen Irak beberapa waktu lalu.

Warga Iran mengusung peti mati Komandan Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qasem Soleimani yang terbunuh dalam serangan udara di bandara Baghdad, di Ahvaz, Iran, Minggu (5/1/2020). ANTARA FOTO/Hossein Mersadi/Fars news agency/WANA (West Asia News Agency) via REUTERS/aww.
Warga Iran mengusung peti mati Komandan Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qasem Soleimani yang terbunuh dalam serangan udara di bandara Baghdad, di Ahvaz, Iran, Minggu (5/1/2020). ANTARA FOTO/Hossein Mersadi/Fars news agency/WANA (West Asia News Agency) via REUTERS/aww.

Alih-alih mengusir tentara AS, lanjut dia, parlemen Irak justru memakai framing: Mengeluarkan seluruh tentara asing secara bertahap. Ini berarti bukan hanya AS saja, tapi tentara Iran yang ada di Irak juga.

"Jangan lupa bahwa rakyat petualangan Iran lewat Qasem Soleimani di Irak pun mendapat protes dari rakyat Irak," imbuhnya.

Menurut Alto, secara tidak langsung, kematian Soleimani ini juga memberi peluang bagi pemerintah Irak untuk mendengar keinginan warganya yaitu membatasi peran Iran di Irak. Hal ini sekali lagi dibuktikan oleh keputusan parlemen Irak ini, yaitu membatasi keberadaan pasukan asing di Irak.

"Sekarang bolanya ada di Iran. Mau meningkatkan konfrontasi, atau de-eskalasi. Iran akan memilih de-eskalasi sambil bermain di mode-mode proxi saja, karena mereka nggak siap untuk melakukan perang berkepanjangan," pungkasnya.

AS meluncurkan serangan udara usai Soleimani turun dari pesawat yang mendarat di Bandara Baghdad. Selain Soleimanani, wakil komandan milisi Syiah Irak (PMF), Abu Mahdi al-Muhandis, petinggi milisi Kataib Hizbullah, dan seorang petugas protokoler bandara Irak, Mohammed Reda juga turut meninggal dalam insiden tersebut.

Baca Juga

Pejabat AS: Pasukan Rudal Iran Sudah Siaga Tinggi

Serangan ini terjadi dua hari setelah milisi Syiah Irak dan simpatisannya menyerbu kedutaan besar Amerika Serikat di Baghdad. Insiden itu terjadi setelah AS membombardir markas Kataib Hizbullah pada akhir pekan lalu hingga menewaskan 25 orang.

Serangan pasukan AS itu merupakan perintah dari Donald Trump. Atas peristiwa ini, Fraksi Demokrat di Kongres AS mempertanyakan alasan Trump memerintahkan serangan udara hingga menewaskan seorang jenderal Iran.

Trump, menyatakan mempunyai alasan untuk memerintahkan membunuh Soleimani. Trump berdalih Soleimani merencanakan serangan besar terhadap warga AS di Timur Tengah, maka dari itu dia mencegahnya dengan menyerang terlebih dulu. (Pon)

Baca Juga:

Dubes Iran di PBB: Balasan untuk Aksi Militer Adalah Aksi Militer

#Iran #Amerika Serikat
Bagikan
Ditulis Oleh

Ponco Sulaksono

Bagikan