Aksi Terorisme di Indonesia Didominasi Lone Wolf, Ini Alasannya

Zulfikar SyZulfikar Sy - Jumat, 26 Juni 2020
Aksi Terorisme di Indonesia Didominasi Lone Wolf, Ini Alasannya
Satuan Brimob Polri saat penangkapan terduga teroris di Tangerang Selatan. (MP/Rizki Fitrianto)

MerahPutih.com - Pengamat intelijen dan keamanan Stanislaus Riyanta menilai bahwa kelompok radikal terorisme yang ada di Indonesia didominasi oleh kelompok yang berafiliasi dengan ISIS.

Stanislaus mengatakan, pasca ISIS kalah dan kehilangan wilayahnya di Suriah pada awal tahun lalu, simpatisan yang ada di Indonesia mulai menggencarkan serangan di dalam negeri.

Baca Juga:

Densus 88 Ciduk Terduga Teroris Otak Penyerangan Polsek Daha

Pengamat intelijen dan keamanan ini menambahkan, nantinya aksi-aksi serangan akan dilakukan melalui sel-sel keluarga dan lone wolf-aksi terorisme yang dilakukan secara mandiri- karena dianggap sulit untuk dideteksi.

"Alasannya karena memang sel keluarga ini tidak mudah terdeteksi. Mereka hanya berkomunikasi di internal keluarga, itu tidak dicurigai apalagi lone wolf," ungkap Stanislaus dalam keteranganya kepada wartawan, Kamis (25/6).

Stanilaus menjelaskan bahwa metode perekrutan anggota jaringan teror telah berubah seiring perkembangan zaman dan teknologi.

"Mereka menyebar konten-konten di dunia maya dan mereka melihat siapa yang menangkap konten itu. Kemudian mereka akan kontak orang itu. Mereka punya website, bisa melihat orang yang tertarik, mengklik berapa kali, mereka akan merespons," papar Stanislaus.

Ilustrasi Densus 88 Antiteror (MP/Win)
Ilustrasi Densus 88 Antiteror (MP/Win)

Ia pun memperingatkan agar masyarakat tidak mudah tertipu dengan gerakan propaganda kelompok-kelompok jaringan teror, salah satunya medium majalah online Dabiq yang digunakan ISIS untuk merekrut anggota-anggotanya.

Anak muda, menurut Stanislaus, lebih mudah untuk terpapar paham radikal terorisme.

"Sebenarnya mereka menebar konten itu secara acak, banyak sekali. Tapi usia yang terkait hal-hal seperti itu yang mungkin butuh eksistensi, heroisme, itu kan usia muda, orang yang mencari jati diri," tuturnya.

Stanislaus yang tengah menyelesaikan program doktoral di Universitas Indonesia ini pun mengingatkan pemerintah untuk tetap fokus dalam menanggulangi isu-isu terorisme di tengah pandemi COVID-19 saat ini. Hal ini berdasarkan temuan kasus terbaru di Poso pada April lalu.

"Corona ini jadi salah satu celah yang dimanfaatkan mereka untuk menjalankan aksi teror," jelas dia.

Ia mengimbau masyarakat untuk peka terhadap lingkungan sekitarnya.

Jika ditemukan adanya individu yang memiliki "perilaku menyimpang", masyarakat dapat melaporkan kepada pihak berwenang.

Ini menurutnya merupakan upaya dari deteksi dan cegah dini radikal terorisme di masyarakat.

"Pertama di tingkat keluarga, kenali keluarga. Pastikan bahwa keluarganya tidak ada yang terpapar paham radikal terorisme. Setelah keluarga aman baru lihat kanan kirinya, apa ada tetangga-tetangga yang mungkin ada indikasi terpapar paham radikal terorisme," terang Stanislaus.

Baca Juga:

Terduga Teroris di Kalbar Disinyalir Terafiliasi ISIS

"Ketika keluarga aman, kanan kiri aman, dan pemantauan akan semakin melebar, ini dampaknya bagus bagi negara," pungkasnya.

Selama periode Januari hingga Juni 2020, ada 84 tersangka terkait dengan jaringan terror yang aksinya berhasil digagalkan aparat penegak hukum.

Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) melaporkan data ini dalam rapat dengan Komisi III DPR, Selasa (23/06).

Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar memastikan terus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum yang ada untuk menanggulangi isu-isu terorisme di Indonesia. (Knu)

Baca Juga:

LPSK Pastikan Saksi dan Korban Terorisme Mapolsek Daha Dapatkan Perlindungan

#Terorisme
Bagikan
Ditulis Oleh

Zulfikar Sy

Tukang sihir
Bagikan