GANG kompleks lokalisasi Dolly tepat berada di titik tengah Jalan Raya Jarak, Surabaya. Menjelang tengah malam, terutama pada akhir pekan arus lalu lintas di kawasan itu padat merambat. Hiruk pikuk pengunjung meluber hingga memenuhi jalan raya yang semakin sempit akibat banyaknya kendaraan yang parkir sembarang di sisi jalan.
Itu pemandangan biasa di Gang Dolly setiap Jumat dan Sabtu malam. Sebuah wisma di persimpangan terlihat dikerumuni pria. Mereka melihat, dari kaca, beberapa perempuan yang tengah duduk santai di sofa dengan sebatang rokok di bibir merahnya.
Keramaian di jantung Kota Pahlawan itu masih berlangsung menjelang tiga hari penutupan kompleks lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara tersebut. Pemerintah kota setempat kemudian menjadikan lokasi itu sebagai sentra ekonomi bisnis penunjang Kota Surabaya.
Baca Juga:

Setelah keramaian terakhir pada akhir pekan tersebut, pada Rabu, 18 Juni 2014, Menteri Sosial yang menjabat saat itu, Salim Segaf Al Jufri, memimpin langsung deklarasi penutupan lokalisasi Dolly. Semua berkat inisiatif Menteri Sosial saat ini, Tri Rismaharini, yang kala itu menjabat sebagai Wali Kota Surabaya.
Berbekal Perda Nomor 9 Tahun 1999 tentang Larangan Pemanfaatan Bangunan untuk Aktivitas Prostitusi, kebijakan itu mendapat perlawanan. Para pekerja Dolly, dari kalangan pekerja seks komersial (PSK), pemilik wisma, mucikari, hingga pedagang yang biasa meraup untung dari aktivitas prostitusi, melayangkan protes.
Protes terus datang meskipun pemerintah menjanjikan memberikan kompensasi berupa pelatihan kemampuan ekonomi dan modal usaha sebesar Rp5 juta bagi PSK, mucikari, dan pedagang yang terkena dampak langsung penutupan Dolly. Sementara, bagi pemilik wisma, Pemkot Surabaya menyiapkan Rp16 miliar, bagi yang ingin menjual aset wismanya kepada Pemkot Surabaya.
Mereka yang melayangkan penolakan penutupan Gang Dolly mengaku selama ini pemerintah kota tidak pernah mengajak warga dan pemilik wisma untuk berdialog dan memberitahukan rencana penutupan. Ditutup 18 Juni atau kapan pun, bagi mereka, lokalisasi Dolly menyimpan banyak kenangan dan sejarah.
Namun, Wali Kota perempuan pertama yang diusung PDI-P itu yakin bahwa prostitusi bukanlah ladang pekerjaan. Menurutnya, prostitusi membawa efek sosial yang besar, khususnya bagi masa depan anak-anak yang berada di sekitar lokalisasi.
"Saya akan tetap menutup Dolly. Saya tidak gentar sedikit pun atas semua bentuk perlawanan karena niat baik pasti dibantu Tuhan," tutup Risma. (aru)
Baca Juga: