Agus Salim: Pergumulan Politik dan Kisah Saling Ejek dengan Santri Merah

Adinda NurrizkiAdinda Nurrizki - Jumat, 13 Februari 2015
Agus Salim: Pergumulan Politik dan Kisah Saling Ejek dengan Santri Merah
Foto: Youtube

MerahPutih Nasional - Bermula lewat pertemuan dengan pucuk Pimpimam Sarekat Islam (SI) HOS Cokroaminoto, ketertarikan tentang pemikiran sosialisme yang pernah dipelajari oleh Agus Salim makin bertambah matang.

Karir politik Agus Salim berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 1915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu.

Salah satu ketegasan Agus Salim saat duduk sebagai anggota Volksraad adalah keberaniannya menggunakan Bahasa Melayu saat berpidato dalam sidang Volksraad. Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya saling adu bantah tentang kata ekonomi antara dirinya dengan seorang anggota Volksraad bernama Bergmeyer.

Hal ini bermula ketika Salim tak diperkenankan berpidato dalam Bahasa Melayu. Saat itu Bergmeyer dengan maksud mengejek, menyela pidato Salim dan bertanya, “Apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Melayu?” Bukannya menjawab, ia lantas membalas pertanyaan tersebut dengan pertanyaan yang sama, “Coba Tuan sebutkan dahulu apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Belanda, nanti saya akan sebutkan Bahasa Melayunya”. Karena memang tak ada padanannya dalam Bahasa Belanda, sontak tantangan tersebut membuat geger seisi ruang sidang. Bergmeyer pun tertohok malu.

BACA JUGA: Agus Salim Pemuda yang Gigih Menimba Ilmu

Usaha Agus Salim menunjukan kebanggaan berbahasa Melayu tersebut rupanya mendorong para tokoh pergerakan merumuskan Sumpah Pemuda di bulan Oktober tahun 1928, mendorong yang salah satunya mendeklarasikan salah satu bunyi sumpah "Berbahasa satu, Bahasa Indonesia."

Agus Salim pun akhirnya memutuskan keluar dari dewan tersebut tahun 1923. Dia merasa perjuangan "dari dalam" tak membawa manfaat. Dia keluar dari Volksraad dan berkonsentrasi penuh di Sarekat Islam.

Agus Salim bersama Hos Cokroaminoto bergerak bahu-membahu lewat pergerakan Sarekat Islam (SI) dengan berlandaskan napas sosialisme islam. Mereka menggelorakan ide tentang keadilam ekonomi yang memihak pada rakyat. Lewat organisasi SI ini pula di mana sebagian besar anggotanya adalah pedagang muslim mereka juga menanamkan komitmen bersama untuk membangun etos kerja sebagai seorang muslim.

BACA JUGA: Agus Salim: Jurnalis Berpena Tajam

Agus Salim dan HOS Cokroaminoto adalah dwi tunggal yang membangun SI yang menjadi sebuah organisasi pergerakan sosial-politik rakyat Indonesia yang terbesar kala itu.

Namun karena kebesarannya, banyak pihak merasa berkepentingan dengan SI. Sarekat Islam pun mulai terpecah ke dalam dua kubu pemikiran yakni SI Merah yang cenderung mengagungkan sosialisme dan komunisme dan SI Putih yang berlandaskan Islam. Kedua kubu tersebut tetap setia untuk melawan kolonialisme Belanda dengan cara berbeda.

Perbedaan pandangan antara SI Merah dan SI Putih tak jarang tersaji lewat saling lempar ejek dalam forum internal.

Bahkan Agus Salim pun sempat menjadi bahan olok-olok kelompok SI Merah. Hal itu sempat dilukiskan dalam sebuah kisah yang dipaparkan dalam buku berjudul "Mengikuti Jejak H. Agus Salim dalam Tiga Zaman" karangan Untung S, terbitan Rosda Jayaputra.

Dikisahkan dalam buku tersebut, dalam sebuah rapat Sarekat Islam (SI), Haji Agus Salim saling ejek dengan Musso, tokoh SI yang belakangan menjadi orang penting dalam Partai Komunis Indonesia. Saat itu, SI memang terbelah antara SI Putih dan SI Merah yang berhaluan pada paham-paham komunisme. Haji Agus Salim menjadi motor SI Putih, sementara Musso di SI Merah.

Pada awalnya Muso memulai ejekan itu ketika berada di podium. "Saudara-saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa?"

"Kambing!" jawab hadirin.

"Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa?"

"Kucing!"

Agus Salim sadar sedang menjadi sasaran ejekan Musso. Agus Salim memang memelihara jenggot dan kumis. Begitu gilirannya berpidato tiba, dia tak mau kalah. "Saudara-saudara, orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?" Hadirin berteriak riuh, "Anjing!"

Agus Salim pun tersenyum, puas, lalu melanjutkan pidatonya.

Kisah berbalas ejek lainnya antara Agus Salim dengan kaum radikal dari golongan SI Merah pernah pula dituturkan oleh Sutan Syahrir kepada Jef Last, wartawan dan aktivis sosialis Belanda yang mengatakan, "Saat rapat umum di Yogyakarta, ketika itu masyarakat memadati lapangan guna mendengar pidato dari Agus Salim. Tatkala Agus Salim menyampaikan pidato, beberapa orang anggota Partai Komunis membuat gaduh dengan menyuarakan “embik…embik,” seraya mengolok-olok Agus Salim yang memiliki janggut panjang itu.

Agus Salim sesaat terdiam dirinya tetap fokus dengan pidatonya. Menanggapi olok olok yang dilontarkan kaum radikal dari kubu SI Merah itu Agus Salim berkata, "Tunggu sebentar. Sungguh menyenangkan, kambing-kambing pun mendatangi ruangan ini untuk mendengar pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia, sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Saya sarankan kepada mereka agar keluar ruangan sekadar makan rumput di lapangan. Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan disilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka."

Gerombolan yang diyakini sebagai kaum SI Merah, yang menganggu tersebutpun terhenyak mendengar jawaban Agus Salim. Dengan rasa malu, mereka pun meninggalkan area rapat ketika disuruh petugas keamanan keluar dari lapangan. Rapat pun kemudian berjalan tertib.(man)

#Pahlawan Nasional #70 Tahun Indonesia Merdeka #Dulu Dan Kini #Agus Salim #Sarekat Islam
Bagikan
Ditulis Oleh

Adinda Nurrizki

Bagikan