Agus Salim: Jurnalis Berpena Tajam

Adinda NurrizkiAdinda Nurrizki - Jumat, 13 Februari 2015
Agus Salim: Jurnalis Berpena Tajam
Foto: Youtube

MerahPutih Nasional - Agus Salim kemudian memutuskan pulang ke Indonesia. Dunia Jurnalistik pun kali ini menjadi pilihan hidupnya. Dengan bekal kemampuan bahasa asing, Agus salim bergabung di Harian Neratja sebagai Redaktur II pada tahun 1915. Karirnya tersebut membawa Agus salim menduduki posisi Ketua Redaksi. Agus Salim pun kemudian menikah dengan Zaenatun Nahar belakangan mereka pun dikaruniai 8 orang anak.

Saat menggeluti dunia jurnalistik, Agus Salim kerap menyampaikan kritik pedas dalam tulisan-tulisannya yang menentang kekejaman penjajah. Hal itu dilakukannya pula untuk membakar semangat kemerdekaan rakyat Indonesia.

Lewat integritasnya yang selalu terjaga, tak jarang Agus Salim kerap berbeda pandangan dengan pemilik surat kabar tempat ia bekerja, misalnya saat dirinya bekerja sebagai pemimpin redaksi di Harian Indonesia Baroe.

BACA JUGA: 4 Pahlawan Indonesia yang Dijadikan Nama Jalan di Luar Negeri

Pada tahun 1925, saat Agus Salim menjadi pemimpin redaksi Harian Hindia Baroe. Ia kerap melontarkan pujian ataupun kritik menurut pendapatnya. Salah satu pihak yang banyak menerima kritikannya adalah pemerintah Belanda. Berbagai kritik pedas yang ditampilkan surat kabar ini membuat Harian Hindia Baroe maju dan disukai pembaca tetapi tidak sejalan dengan pemiliknya terutama sejumlah orang berkebangsaan Belanda tulen yang gerah dan menganggap kritik yang dianggap terlalu berlebihan.

Mereka pun kerap meminta agar tulisan kritis Agus Salim terhadap pemerintahan kolonial Belanda dikurangi dan diperlunak. Rupanya hal tesebut dijawab oleh Agus Salim dengan pengunduran dirinya sebagai pemimpin redaksi pada tahun 1925.

Agus Salim menganggap para pemilik seakan lupa pada awal kesepakatan jika dirinya memimpin Harian Hindia Baroe dengan mutlak mensyaratkan kebebasan pada dirinya dalam menulis.

"Kalau saya terus menulis, maka hanya ada dua kemungkinan: saya tidak peduli dengan permintaan pemilik harian atau saya menyerah, dan akan berkompromi dengan hati nurani saya," tegas Agus Salim.

Bukan hanya pemilik yang keberatan, rekan-rekan politik Agus Salim pun banyak yang melontarkan kritik karena tulisan mereka dianggap jelek dan tidak pantas untuk diberitakan di Harian Hindia Baroe.

BACA JUGA: Agus Salim Pemuda yang Gigih Menimba Ilmu

Sebagai jurnalis, tak jarang Agus meliput berbagai peristiwa ke berbagai tempat di pedalaman Jawa, Sumatera, hingga jauh ke Kalimantan. Dengan mata kepalanya sendiri ,Agus Salim menyaksikan ketidakadilan berbagai aturan dan sistem terapan Pemerintah Hindia Belanda yang memeras rakyat mulai praktik kuli kontrak dengan pembayaran minim (poenale sanctie) hingga menyewakan tanah rakyat kepada pengusaha Eropa dalam jangka panjang (erfpacht).

Berbagai kekejian yang dilakukan pihak kolonial Belanda tersebut pun dilaporkannya dalam tulisan di Fadjar Asia. Tulisan tersebut makin mendapat perhatian di kalangan pemerhati buruh internasional setelah dimuat dalam Majalah De Strijd. Sebuah majalah internal dari organisasi Buruh terbesar di Belanda (NVV).

Agus Salim kemudian diundang ke Belanda untuk bertemu dengan pergerakan buruh. Tak hanya itu, NVV pun mendaulat Agus Salim sebagai penasehat penuh mereka di konferensi buruh internasional (ILO) di Jenewa.

Saat berbicara dalam Kongres ILO yang berlangsung di Jenewa, Agus Salim membeberkan pidato penderitaan buruh Hindia Belanda (Indonesia) yang diperlakukan dengan kejam oleh pemerintah kolonial.

Pidato yang diucapkan dengan bahasa Inggris, Prancis dan Jerman itu membukakan mata bangsa-bangsa lain akan nasib buruh di Hindia. Hal ini menyebabkan tekanan-tekanan internasional atas pemerintah kolonial, salah satunya tekanan yang dilakukan oleh Amerika Serikat, yang tak mau lagi membeli hasil perkebunan di Hindia Belanda, karena pada praktiknya yang kejam.

Guna mengakhiri kebijakan "poenale sanctie" nan kejam agar dihentikan Agus Salim menulis dalam harian Moestika, 1 Desember 1931, "Kontrak ber-poenale sanctie itu penghinaan yang dipikulkan atas rakyat sebangsa kita. Si pekerja yang terikat itu tidak bisa menebus dirinya," tegasnya. "Poenale sanctie" akhirnya dihentikan pada tahun 1932 setelah menelan ribuan korban nyawa pekerja.

Agus Salim juga sangat memperhatikan perilaku aparat kepolisian kolonial Belanda yang kala itu kerap melakukan kekerasan terhadap rakyat bidang hukum. Lewat harian Fadjar Asia, 29 November 1927 ia menulis, "Sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut "pengakuan" di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa," papar Agus Salim.

Perhatian khusus juga diberikan Agus Salim terhadap aparat hakim pengadilan dengan menulis masukan keras, “Jika negeri hendak selamat, haruslah pengadilan berderajat tinggi dalam anggapan orang ramai di negeri ini. Dan hakim-hakim, istimewa yang mengepalai majelis pengadilan wajiblah selalu menunjukkan sikap kebesaran yang anggun, disertai kesabaran, keramahan dan kemurahan, yang menunjukkan ia menjaga jalannya hukum dengan sungguh-sungguh, dengan memakai timbangan yang jernih, yang sekali-sekali tidak boleh kecampuran pengaruh cinta dan benci, yang kira-kira boleh memincangkan teraju timbangannya," sebut Agus Salim dalam tulisannya di harian Fadjar Asia edisi 26 Juni 1928.

Gebrakan lain yang dilakukan surat kabar ini adalah ulasan terhadap penahanan terhadap 4 orang pelajar Indonesia yang sedang menimba ilmu di negeri Belanda yaitu Mohammad Hatta, Nazir Pamuncak, dan Abdulmadjid Joyodiningrat, dan Ali Sastroamijoyo. keempat tokoh Perhimpunan Indonesia tersebut ditahan atas tuduhan menyebarkan tulisan yang dikategorikan menghasut pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Selain memuat tulisan tentang keberadaan dan aktivitas tokoh-tokoh PI yang ditangkap dan ditahan itu. Selain itu, Fadjar Asia juga memelopori dibentuknya Comitte Penoeloeng Studenten Indonesia yang menerima sumbangan untuk disalurkan kepada ke empat aktifis PI tersebut.

Sayang, Fadjar Asia hanya mampu bertahan hidup selama 4 tahun. Edisi terakhir no.181 yang terbit pada Bulan Agustus 1930.

Perjalanan karir Jurnalistik Agus Salim pun terus berlangsung. Namun keputusan untuk terjun langsung dalam percaturan politik menjadi pilihan utamanya. Agus Salim pun bergabung masuk dalam Sarekat Islam.

Hal itu akan diungkap dalam tulisan berikutnya yang mengisahkan sepak terjang Agus Salim dikancah Politik Indonesia. (man)

 

#Pahlawan Nasional #Agus Salim Sebagai Jurnalis #70 Tahun Indonesia Merdeka #Dulu Dan Kini #Agus Salim
Bagikan
Ditulis Oleh

Adinda Nurrizki

Bagikan