+62 Saatnya Naik Kelas
PEMBAGIAN rapor kini tak semenegangkan dahulu. Di masa lalu, begitu divonis tak naik kelas, dunia seolah runtuh berkeping. Sekeluarga menanggung malu. Orangtua dianggap tak becus didik anak. Kakak disangka tak membantu adiknya. Sementara, si anak tuntas dicap bodoh atau gagal. Memang tak mudah memikul beban sebagai anak gagal.
Tinggal kelas dahulu jadi aib besar. Beberapa orangtua kasih ultimatum kepada anaknya jangan main dengan anak tinggal kelas. Alasannya, takut ketularan bodoh. Sosoknya dianggap sebagai pembawa virus kebodohan. Maka, harus dihindari jauh-jauh malah kalau bisa dikucilkan. Alhasil, anak tinggal kelas tentu saja miskin teman. Secara sosial dianggap virus, sementara di dalam keluarga dicap anak gagal.
Pihak keluarga kontan merespons dengan buru-buru memindahkan anaknya ke sekolah di luar daerah. Tujuannya, tentu saja macam-macam, tapi dua di antaranya agar dianggap sebagai anak pindahan syukur-syukur bisa naik kelas di tempat baru, lalu menjauh dari pandangan buruk orang-orang di lingkungan lama.
Kini, pandangan tersebut berubah drastis. Masyarakat sudah teredukasi dengan baik sehingga tak lantas menganggap sekolah sebagai tempat semata-mata menjadi pintar, menjadi cerdas, dan mencetak orang berhasil.
Masyarakat kini memandang sekolah sebagai sarana siswa belajar berproses serta mengembangkan diri sesuai kehendak atau cita-citanya. Kegagalan justru dimaknasi sebagai satu kesatuan di dalam proses bukan ekses dari hasil akhir. Ketika gagal, teman-teman berikut orangtua mereka terus kasih dukungan, orangtua sekeluarga paling terdepan kasih sokongan, guru kasih bimbingan, dan lingkungan memberi ruang terbaik.
Meski cara pandang sudah berubah, kebiasaan unik Warga +62 saat kenaikan kelas, terutama pembagian rapor tak pernah baru seratus persen. Urung berubah bisa jadi karena memang ekosistem sekolah, antara lain guru, orangtua, murid, kantin, satpam, serta penjual aneka kuliner di depan sekolah kangen berat dengan tradisi ambil rapor sebelum pandemi.
Di samping sebagai momen bertemunya guru dan orangtua murid saling mengevaluasi belajar siswa, pembagian rapor acap jadi wadah unjuk gigi pelbagai macam hal. Orangtua murid enggak mau kalah unjuk gigi keberhasilan anak, kemewahan, pencapaian, dan segala hal terkait dengan kebanggaan diri. Sebab, tak hanya anak, orangtua juga mau naik kelas!
Naik kelas kehidupan, karier, bisnis, spiritualitas, juga percintaan bukan cuma perlu tapi mutlak terjadi di tiap fase kehidupan. Jika tak pernah naik kelas, patut diduga orang tersebut tak pernah berusaha kuat mencapai tujuan atau justru menolak berintrospeksi sehingga tak sadar jika dirinya, karier, bisnis, spirtualitas, dan percintaannya telah jauh berkembang.
Jangan sampai lantaran terlalu sibuk, upaya mencintai lalu mengenali diri sendiri (selflove) selalu skip. Begitu pula jangan terlalu tergesa harus cepat-cepat naik kelas agar tak mudah terjebak dengan ekspektasi. Harus seimbang, harmonis, agar bisa ringan langkah mempercantik dunia nan sudah cantik. Ujungnya, tentu menjadi damai.
Berdamai bahkan jadi momentum naik kelas. Tak tanggungg-tanggung, Presiden Joko Widodo harus menempuh 13 jam perjalanan udara agar bisa sampai di Jerman (26/6) untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi Group of Seven (KTT G7) dalam upaya ikut menjaga perdamaian dunia. Forum tahunan usungan negara-negara industri maju, terdiri dari Amerika Serikat, Jerman, Italia, Jepang, Kanada, dan Prancis tersebut acap membahas situasi global dengan tujuan beroleh keputusan juga kesepakatan bersama.
Indonesia hadir selain menjadi negara mitra juga posisinya sangat strategis sebagai Presiden G20 nan penyelenggaraannya akan digelar pada Oktober mendatang di Bali. Pada KTT G7 tahun ini, pembahasannya diprediksi akan fokus pada dampak invasi Rusia ke Ukraina terutama soal acaman terhadap pasokan pangan dunia. Di dalam pembahasan tersebut, tentu Jokowi punya peran strategis pada upaya-upaya kebaikan atas konflik Rusia-Ukraina. Jokowi menemui langsung Presiden Ukraina Volodymyr Oleksandrovych Zelenskyy membahas pelbagai hal menyangkut perdamaian serta perbaikan.
Mengupayakan kebaikan pada konflik dua negara merupakan bentuk unjuk gigi sekaligus naik kelas Indonesia. Naik kelas memang harus diupayakan. Tak ada keberhasilan tanpa leha-leha usaha. Hal tersebut sangat tercermin dari semangat berbenah para pelaku wisata di banyak daerah di Indonesia. Di saat pandemi mulai melandai, ekosistem kepariwisataan mulai berbenah mengubah banyak hal, termasuk konsep baru sustainability tourism (pariwisata berkelanjutan).
Beberapa desa tampil terdepan mengusung konsep wisata keberlanjutan agar tak cuma mendorong wistawan datang tapi juga punya dampak jangka panjang bagi ruang hidup mereka. Empat pilar telah dicanangkan Kemenparekraf, meliputi ekonomi berkelanjutan, pengelolaan berkelanjutan, keberlanjutan budaya, dan aspek lingkungan. Cara tersebut diambil dalam rangka mengajak seluruh ekosistem kepariwisataan naik kelas bersama mengusung keberlanjutan di segala aspek.
Sangking penting dan strategisnya, naik kelas selalu ada di segala lini dan fase kehidupan. Sepanjang Juli 2022, Merahputih.com menaja tema Warga +62 Naik Kelas. Tema tersebut sebagai sambungan dari tema Unjuk Gigi di bulan sebelumnya karena peristiwa besar baik di dalam dan luar negeri erat kaitannya dengan dua tema tersebut.
Naik kelas merangkum segala hal unik dan ikonis Warga +62 dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara tersebut, redaksi ingin menyajikan gambaran utuh tak cuma peristiwa, tapi juga fenomena, cara pandang, dan kebiasaan unik manusia Indonesia. Salah satunya, fenomena bakso. Warganet sempat berhari-hari betah membicarakannya. Bakso naik kelas karena diperbincangkan secara luas dari media arus utama sampai media sosial. Tukang bakso pun awalnya heran mengapa mendadak jadi pusat perhatian.
Sejak pandemi, tak pernah ada elite politik terang-terangan makan bakso hingga jadi berita nasional. Mereka tentu saja pernah makan bakso. Namun, mungkin menyantapnya di rumah, restoran, hotel, atau di kedai bakso langganan tanpa sorot kamera. Baru kemarin terlihat jelas para elite dengan raut muka semringah menyeruput kuah hangat berkaldu di sendok lalu menggigit bola berbahan daging sapi tersebut di depan khalayak.
Bagi tukang bakso, mau ada peristiwa tersebut atau tidak, roda gerobaknya tetap melaju, panci besarnya masih memanas membuih, dan kentungannya terus melantang. Bedanya, tukang bakso tak lagi bisa dipandang sebelah mata setelah peristiwa para elite makan bakso bersama. Begitulah bakso naik kelas.
NAIK KELAS DONG, MASAK CUMA MAJU MUNDUR CANTIK AJA! (*)