MerahPutih.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengumpulkan 300 ulama dari dalam dan luar negeri. Mereka adalah para ahli hukum Islam yang mewakili lembaga ataupun negaranya sebagai mufti dalam Muktamar Internasional Fikih Peradaban.
Muktamar Internasional Fikih Peradaban merupakan puncak dari rangkaian Halaqah Fikih Peradaban yang digelar di 250 titik se-Indonesia. Kegiatan ini juga menjadi bagian dari salah satu agenda peringatan Harlah 1 Abad NU.
Baca Juga:
Ketua PBNU Nilai Sistem Proporsional Tertutup Kurangi Hak Pemilih
Muktamar Internasional Fikih Peradaban, digelar di Surabaya, Jawa Timur, Senin, 6 Februari 2023, dan akan membahas pandangan hukum Islam terhadap Piagam PBB.
"Para ulama akan menyampaikan argumentasi fiqhiyah bahwa piagam dan keputusan-keputusan PBB ini bisa menjadi rujukan otoritatif dan mendapat legitimasi dari ortodoksi yang tersedia dalam Islam," kata Kepala Divisi Strategi Komunikasi dan Media Muktamar Internasional Fikih Peradaban Ishaq Zubaedi Raqib.
Ia menegaskan, pembahasan ini memiliki nilai kebaruan yang sangat penting untuk memperkuat legitimasi PBB sebagai institusi penting dalam menjaga keutuhan negara bangsa modern saat ini.
Piagam PBB merupakan salah satu hal yang menjadi kesepakatan para pemimpin negara untuk menghentikan Perang Dunia II.
"Para pemimpin negara menandatangani Piagam PBB tersebut untuk tidak lagi berperang. Ini demi keberlangsungan hidup bersama yang nyaman, aman, dan bebas dari ancaman negara dan bangsa lain," ujarnya.
Namun, kata ia, disadari bahwa belum tersedia legitimasi fiqhiyah atas Piagam PBB tersebut. Karena salah satu alasan itu, maka PBNU berinisiatif untuk mengajak para ulama dari berbagai negara untuk bersama-sama memikirkannya.
Dengan adanya legitimasi berdasarkan hukum Islam, Piagam PBB akan memiliki kekuatan sebagai bagian tak terpisahkan dari perspektif agama Islam itu sendiri.
"Di sinilah letak urgensi pembahasan Piagam PBB dalam perspektif Islam ini," kata Ketua Lembaga Informasi dan Publikasi PBNU itu.
Ia menegaskan, Piagam PBB yang menegaskan perlunya batas-batas negara bangsa juga belum dibahas dalam fikih-fikih klasik. Karenanya, pembahasan ini penting untuk merumuskan konsep dan istilah baru dalam hukum Islam.
"Ini menjawab perlunya terobosan dalam ajaran fikih yang membahas perihal kenegaraan, mengingat realitasnya yang sudah jauh berbeda dengan masa di mana fikih klasik itu dirumuskan para ulama terdahulu," katanya. (Knu)
Baca Juga:
Ketum PBNU Undang Jokowi Hadir di Harlah Satu Abad NU