3 Kriteria Lembaga Survei Ideal di Pemilu 2024

Zulfikar SyZulfikar Sy - Jumat, 20 Januari 2023
3 Kriteria Lembaga Survei Ideal di Pemilu 2024
Ilustrasi - Sejumlah mural bertemakan pemilu menghiasi tembok sudut di Kota Tangerang, Banten, Jumat, (12/4/2019). (Foto: MP/Rizki Fitrianto)

MerahPutih.com - Peran lembaga survei diharapkan bersikap sentral selama Pemilu 2024. Sebab, hasil yang mereka rilis berpotensi memengaruhi opini publik dan peta perpolitikan.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Puadi berharap, lembaga survei dapat berkembang dengan mengedepankan prinsip integritas, transparan, dan independen.

Puadi pun menjabarkan tiga kriteria bagi lembaga survei agar ideal dalam pemilu.

Baca Juga:

Sejumlah Modus Pelanggaran Dana Kampanye Peserta Pemilu

“Pertama, menjadi pihak yang dapat memitigasi membesarnya polarisasi menjelang dan pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti,” tuturnya di Jakarta, Jumat (20/1).

Kedua, lanjut dia, lembaga survei dapat menunjukkan tanggung jawab moral dengan berkontribusi nyata melahirkan satu gagasan politik ideal.

Ketiga, setelah melahirkan satu gagasan politik, lembaga-lembaga survei ini lalu duduk bersama dengan para pemangku kepentingan seperti pemerintah, KPU, dan Bawaslu.

"Ini untuk menyusun satu model pertarungan politik yang sehat bagi para kontestan Pemilu 2024,” tutur Puadi.

Dia pun menjelaskan aturan norma perundang-undangan mengenai batasan bagi lembaga survei.

Puadi menjelaskan, lembaga survei merupakan bagian dari partisipasi masyarakat yang diatur dalam ketentuan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 338 hingga Pasal 450.

Dia menuturkan, berdasarkan Pasal 488 poin kedua item c dan d disebutkan partisipasi masyarakat dalam pemilu dapat berupa survei atau jajak pendapat tentang pemilu dan penghitungan cepat hasil pemilu.

Baca Juga:

PPATK akan Awasi Aliran Dana Pemilu 2024 dari Sumber Ilegal

Hanya saja, mantan anggota Bawaslu Provinsi DKI Jakarta ini mengingatkan adanya pengumuman hasil survei saat masa tenang.

Berdasarkan Pasal 509 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang dapat dipidana dengan ancaman kurungan satu tahun serta ancaman denda sebesar Rp 12 juta.

"Hanya saja kemudian dimaknai oleh dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yakni putusan Nomor 9 Tahun 2009 dan 24 Tahun 2014 yang pada intinya tidak dilarang sepanjang sesuai dengan sesuai dengan prinsip metodologis ilmiah dan tidak bertendensi,” kata Puadi.

Puadi pun menjelaskan mengenai penghitungan cepat berdasarkan putusan MK nomor 9 Tahun 2009 dan 24 Tahun 2014 tersebut menyatakan tidak ada data yang akurat untuk menunjukkan bahwa quick count (penghitungan cepat) mengganggu ketertiban umum atau menimbulkan keresahan.

Menurutnya dalam dua putusan MK tersebut harus diingat bahwa quick count bukanlah hasil resmi, namun masyarakat berhak mengetahui.

“Oleh sebab itu, menurut Mahkamah pengumuman hasil quick count begitu selesai pemungutan suara adalah sesuai dengan hak konstitusional bahkan sejalan dengan ketentuan Pasal 28F UUD 1945,” urai pria asal Bekasi ini.

Dia melanjutkan, pengaturan quick count selanjutnya mengalami perubahan norma dari yang sebelumnya hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari berikutnya dari hari pemungutan suara, menjadi hasil penghitungan cepat pemilu bisa dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat sesuai Pasal 449 ayat (5) UU 7/2017.

Bawaslu punya kewenangan dalam penanganan kode etik dan pidana pemilu apabila lembaga survei diduga melanggar prinsip metodologis ilmiah dan tidak bertendensi.

"Jadi jangan ada tendensi dan manipulasi,” terang dia. (Knu)

Baca Juga:

KPU Sebut TPS Pemilu 2024 akan Ramah Disabilitas

#Pemilu #Pemilu 2024
Bagikan
Bagikan