20 Tahun Reformasi dan Kepungan Oligarki Bayangi Jokowi

Angga Yudha PratamaAngga Yudha Pratama - Senin, 21 Mei 2018
20 Tahun Reformasi dan Kepungan Oligarki Bayangi Jokowi
Ibu Sumarsih menyaksikan pameran XX Tahun Reformasi - Segenggam Refleksi. (foto: ANTARA/Fanny Octavianus)

MerahPutih.com - 20 tahun lalu, gerakan reformasi berhasil menumbangkan rezim Orde Baru. Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun, akhirnya mengundurkan diri setelah gelombang unjuk rasa mencapai puncaknya pada Mei 1998.

Aktivis 98 yang kini menjadi anggota DPR, Budiman Sudjatmiko mengakui, era reformasi yang diinginkan masyarakat Indonesia sampai saat ini belum semuanya bisa tercapai.

"Apakah reformasi sudah ideal? Tentu belum. Tapi persoalannya adalah bukan apa yang telah kita capai, tapi speednya, kecepatannya yang tidak ideal. Bukan arah reformasinya," kata Budiman kepada MerahPutih.com.

Pada dekade 90an, Indonesia mencapai momentum kebenaran ketika seluruh masyarakat menghendaki perubahan dari rezim otoriter militeristik yang dipimpin Soeharto menuju ke era demokratis. "Dan alhamdulilah dulu kami menyusun konsep yang kami sebut Manifesto Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang kemudian justru itu yang dijadikan alat untuk mengadili kami. Jadi pikiran-pikiran kami yang diadili," ujarnya.

PRD sejak awal terbentuk bersikap oposisi terhadap pemerintahan Orde Baru. Dalam Manifestonya 22 Juli 1996, PRD menyerang kondisi politik, sosial, dan ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.

Beberapa hari setelah PRD mengumumkan manifestonya, terjadilah Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli). Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Budiman yang saat itu menjabat Ketua Umum akhirnya ditangkap dan divonis 13 tahun penjara.

Pameran lukisan 20 Tahun Reformasi
Foto-foto yang ditampilkan dalam peringatan 20 Tahun Reformasi (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

"Saya dulu di introgasi di kantor BAIS selama seminggu dan 4 bulan di rutan Kejagung dan saya punya BAP tebal sekali," ungkapnya.

Menurut dia, dalam BAP tersebut ada sejumlah hal yang diutarakannya yang kini menjadi kenyataan. Misalnya, soal Pemilu yang digelar oleh lembaga independen, referendum Timor Timur, dialog dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). "Jadi sebenernya apa yang kami tulis banyak yang sudah kejadian, hanya saja ketika instalasi-instalasi itu terpasang kekurangan tenaga kudanya," tuturnya.

"Yang jadi masalah speednya bukan soal apakah (reformasi) tercapai atau tidak. Tercapai tapi harusnya bisa 5 tahun kok jadi 10 tahun. Tapi sebenernya arah reformasi sudah kesana. Karena itu sejak awal kita dan temen-teman ngga bicara reformasi, kita bicara revolusi," sambungnya.

Budiman bebas sebelum waktunya melalui amnesti Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan belakangan Budiman keluar dari PRD dan saat ini menjadi anggota DPR dari fraksi DPI Perjuangan. Sebagian pihak mengkritik langkah Budiman yang masuk ke dalam sistem namun belum membuat perubahan yang signifikan. Budiman menyebut dalam demokrasi langsung seperti saat ini dibutuhkan lebih banyak orang baik yang masuk ke dalam sistem.

Karena itu, untuk menyelesaikan agenda-agenda perubahan yang dulu dicita-citakannya bersama para aktivis pro demokrasi, Budiman mengajak mereka untuk bersama terjun ke partai politik mana pun dan melakukan perubahan dari dalam sistem.

"Soal jumlah. Kita harus bicara jumlah. Dengan one person one vote baik saat pemilihan langsung maupun didalam. Kuantitas itu menjadi penting. Di era demokrasi 1 person 1 vote kuantitas menjadi penting. Karena itu sejak awal saya selalu bicara kepada temen temen bukan hanya di PRD tapi juga yang lain-lain. Saya bilang isi (parlemen) sebanyak banyaknya. Mau partai apapun terserah," tandasnya.

Seorang pengunjung menyimak karya pewarta Antara, Saptono. Karya itu menjadi ikon omega pergerakan Reformasi. (foto: ANTARA/Wahyu Putro)

Koordinator Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menilai dalam sistem politik yang telah dikuasai oligarki seperti di Indonesia tidak cukup bila hanya bergantung pada orang baik untuk melakukan perubahan dari dalam sistem. "Kalau kita hanya bergantung pada orang baik itu tidak mungkin. Orang baik seperti Budiman masih banyak, orang baik seperti Jokowi kurang apa, terlihat lugu, pro rakyat," kata dia.

Dia lantas mencontohkan, Presiden Jokowi dalam bidang korupsi adalah penerima Bung Hatta anti korupsion watch. Jokowi juga mengangkat aktivis anti korupsi Teten Masduki, di dalam pemerintahannnya. Bahkan pernah menjadi kepala staf presiden.

Selain itu, Jokowi mengangkat Johan Budi, mantan jurnalis sekaligus mantan juru bicara KPK, sebagai juru bicara Presiden. Kemudian aktivis agraria, Nur Faudzi Rahman, aktivis hak nelayan Riza Damanik dan aktivis HAM Ifdhal Kasim juga saat ini telah berada di dalam sistem.

Menurut Usman langkah-langkah baik Jokowi dengan mengangkat para aktivis masuk ke dalam sistem patut mendapat apresiasi. Namun, Jokowi dan Budiman akan berhadapan dengan dua hal, yakni oligarki dan kartelisasi politik yang sudah membumi. "Jokowi, seperti juga Budiman saya kira berhadapan dengan struktur oligarki politik, segelintir orang yang menguasi kekayaan material yang mendanai sepenuhnya partai, memiliki media dan menjadi jantung begitu banyak para caleg apalagi yang sudah menjadi legislator," tegasnya.

Kartelisasi politik, akan membuat siapapun yang berkuasa, siapapun yang menjadi oposisi sama-sama bisa bekerjasama untuk korupsi. "Lihat saja kasus Setya Novanto, yang terlibat bukan hanya orang-orang yang berkuasa, tapi juga orang-orang yang beroposisi," imbuhnya.

"Di dalam teori kartelisasi politik, oposisi dan penguasa itu tidak ada, yang ada hanya kepentingan. Nah, orang seperti Budiman itu berhadapan dengan struktur ini. Ia harus menghadapi loyalitas partai, yang tanpa keterhubungannya dengan gerakan sosial tidak akan terjadi apa-apa," tegasnya.

Foto 4 Pahlawan Reformasi. Foto: Merah Putih

Usman mencontohkan, Jokowi lahir dan menang karena dukungan dari masyarakat atau relawan. Menurutnya, dalam pidato-pidato politik diawal-awal kemenangannya, tidak ada satupun kata ucapan terimakasih Jokowi kepada partai politik. "Karena memang bukan partai politik yang memenangkannya, termasuk partai yang dimana ia berkecimpung sebagai petugas partai, tidak ada terimakasih itu. Yang ada adalah terimakasih pada relawan, sampai dititik itu harusnya keterhubungan sosial itu dipelihara," jelas dia.

Menurut Usman, ketika Jokowi menghadapi patron partai yang meminta Budi Gunawan menjadi Kapolri, seharusnya mantan Gubernur DKI Jakarta itu memanggil kembali para relawan pendukungnya.

"Karena dia (Jokowi) terkepung oleh oligarki, ditekan oleh kartel partai untuk menjalankan keputusan yang tidak sesuai dengan janjinya atau dengan komitmennya, tapi dia tidak lakukan (panggil basis masa relawan). Dia tidak berpegang teguh pada nilai yang pernah dia cita-citakan," ujarnnya.

Oleh karena itu, kata Usman, orang-orang seperti Jokowi dan Budiman memang harus banyak. Pasalnya, keduanya lahir dari reformasi, bukan lahir dari keluarga cendana, oligarki, maupun dari dominasi militer. "Tetapi orang baik saja tidak cukup. Otokritik pada kita sebagai gerakan sosial, kalau kita membiarkan orang-orang baik itu sendiri berhadapan dengan struktur yang besar apakah itu oligarki atau kartelisasi partai, saya kira, kita akan hanya menumpuk kekecewaan di dalam setiap forum semacam ini," pungkas Usman. (Pon)

#Jokowi #Reformasi 1998
Bagikan
Bagikan