Suka Duka Jadi Seniman Ondel-Ondel


Topeng Ondel-ondel di Sanggar Betawi Utan Panjang, di Jalan Utan Panjang III RT 014/05, Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (11/1). (Foto: MP/Noer Ardiansyah)
MerahPutih Budaya - Kita semua tahu, budaya merupakan identitas dari setiap suku bangsa, oleh karena itu, pilar penting ini sudah seharusnya dijaga serta dilestarikan keberadaannya. Hal demikian yang juga dilakukan oleh Ayumi (53) untuk mendukung suaminya, Supandi (55), dalam mengembangkan salah satu budaya Betawi, ondel-ondel di sanggarnya. Kisah perjalanan pasangan yang sudah berusia setengah abad itu pun banyak sekali tersemat ragam suka maupun duka menarik yang patut direnungkan.
Mau tahu bagaimana kisahnya?
Bertempat tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana, dengan lingkungan sungai yang kurang layak sebab bau yang sungguh menyengat, Ayumi dan sang suami, Supandi justru menikmati hidupnya dengan segala kekurangan yang ada.
Meski berada di lokasi demikian, ihwal tesebut tidak pernah sedikit pun menyurutkan semangat suami-istri paruh baya itu untuk tetap menjaga seni dan budaya Betawi.
Saat merahputih.com sambangi kediaman mereka di Jalan Utan Panjang, senyum ramah menguntai di wajah wanita dengan enam cucu itu.
"Yah. Bapak sudah pergi. Ada panggilan acara. Itu juga dadakan," kata Ayumi seraya mempersilakan masuk ke dalam rumahnya di Jalan Utan Panjang III RT 014 RW 05, Kemayoran, Jakarta, Senin (11/1).
Meski begitu, Nek atau panggilan Ayumi, dengan begitu semangatnya berkisah ketika menceritakan arus perjalanan Sanggar Seni Betawi yang telah dirintis oleh suaminya, Supandi.
Sejak tahun 1983, kata Nek, Supandi sudah mulai memelopori kesenian tradisional Betawi ke masyarakat sekitar. Cara yang dilakukannya cukup unik, setiap acara 17-an (17 Agustus) bersama anak-anaknya, Supandi berkeliling atau ngarak kampung dengan menggunakan boneka besar yang diiringi alat musik seperti gong, tanjidor, bende, dan segala macamnya. Hal tersebut dilakukan agar masyarakat sekitar semakin tahu akan salah satu warisan leluhur mereka yang realitasnya hampir punah tergilas zaman.
"Aba ngerintis dari dulu. Dari tahun 1983. Ya, ketika itu benar-benar butuh perjuangan. Aba dan keluarga ga terlalu berharap dikasih duit, yang penting kesenian Betawi bisa terjaga," ucapnya dengan getir.
Suka Duka Jadi Seniman Ondel-Ondel
Setiap perjuangan, tentu akan ada hasilnya, itulah yang terjadi dengan apa yang sudah dikerahkan oleh Supandi, Ayumi, dan keluarga besarnya. Selama lebih kurang 12 tahun mengenalkan ondel-ondel, akhirnya pada tahun 1995, Sanggar Seni Betawi mulai diresmikan.
Kabar berdirinya sanggar yang terus berembus ke luar, sontak membuat Sanggar Seni Betawi menerima banyak panggilan main. Tidak hanya di Jakarta saja tentunya. Berdasarkan pengakuan serta beberapa piala yang terpajang di rumahnya, Ayumi mengatakan bahwa sanggar tersebut seringkali tampil di luar dalam acara-acara besar maupun lomba kesenian dan kebudayaan.
"Sering main di luar. Seperti di Bandung, Purwakarta, Subang, dan lain lagi, Nek lupa. Alhamdulillah, aba juga sering bawa piala bersama yang main," katanya.
Nenek Ayumi, Seorang Seniman Ondel-Ondel (Foto: MP/Noer Ardiansyah)
Kendatipun boleh dikatakan terkenal, tetap saja segala kisah memilukan seringkali terjadi. Misalnya saja, masalah pembayaran yang kurang, dan bahkan ada yang tidak dibayar. "Sering juga kaya begitu. Terkadang ga dibayar. Dulu sih begitu. Lagipula, tujuan Sanggar Seni Betawi adalah untuk mengenalkan serta melestarikan kesenian Betawi. Itu yang paling penting," tambahnya.
Meski tekad untuk mengenalkan kesenian serta kebudayaan Betawi cukup besar, Ayumi dan Supandi tetap memikirkan beberapa cucu-cucunya yang dibawa tampil. Belum lagi, akan kebutuhan untuk sanggar mereka. "Ada harganya. Untuk sekali tampil, kalau mainnya dekat ya, sekitar Rp1,5 juta. Itu satu paket sama delman. Kalau mainnya di luar kota, tambah untuk transport. Jadi lebih kurang Rp2 juta," tutupnya. (Ard)
BACA JUGA:
Bagikan
Berita Terkait
Komisi III DPR Terima Masukan Pemred Media Massa terkait Larangan Liputan Sidang
