Siti Manggopoh Singa Betina Minangkabau

Selvi PurwantiSelvi Purwanti - Jumat, 22 April 2016
Siti Manggopoh Singa Betina Minangkabau

Ilustrasi Siti Manggopoh (MerahPutih/Alfi Rahmadhani)

Ukuran text:
14
Dengarkan Berita:

MerahPutih Nasional - Keberanian wanita melawan penjajah Belanda juga dilakukan oleh seorang wanita dari Tanah Minang. Masyarakat Minang mengenang sosok Siti Manggopoh sebagai perempuan yang dengan gagah pernah melakukan perlawanan terhadap kebijakan ekonomi Belanda melalui pajak uang.Nama Manggopoh diberikan karena ia terkenal berani maju dalam perang Manggopoh.

Siti Manggopoh lahir di Manggopoh, Agam, Lubuk Basung, Agam, 15 Juni 1881 . Masyarakat Manggopoh biasa memanggilnya dengan panggilan “Mandeh Siti Manggopoh”. Sebutan Mandeh adalah panggilan hormat yang sama artinya dengan ibu. Panggilan ini kerap disematkan pada wanita yang dihormati di tanah minangkabau.

Siti Mangopoh merupakan anak dari pasangan Sutan Tariak dan Mak Kipap. Ia merupakan anak bungsu dan satu satunya puteri dan memiliki 5 saudara laki-laki. Sejak kecil selain mempelajari ilmu agama, Siti kerap berlatih ilmu beladiri Silat bersama dengan lima orang abangnya.

Saat beranjak dewasa Siti pun menikah dengan seorang pemuda bernama Rasyid Bagindo Magek. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai seorang bayi perempuan yang diberi nama Dalima.

Di awal tahun 1908 Belanda menerapkan kebijakan aturan belasting yang sangat memberatkan kehidupan rakyat.Untuk melancarkan kebijakan belasting tersebut Belanda juga mendirikan markas dengan menempatkan 55 orang pasukan.

Namun kehadiran para serdadu belanda tersebut bukan hanya menerapkan belasting, mereka juga kerap berlaku semena-mena dan sesuka hati termasuk memperkosa para perempuan.

Aturan belasting yang diterapkan Belanda itu pun dianggap sebagai tindakan yang menginjak harga diri bangsa Minangkabau. Mereka merasa terhina terlebih saat dipaksa untuk mematuhi peraturan membayar pajak tanah yang dimiliki secara turun temurun. Bagi Masyarakat Minang aturan belasting dipandang bertentangan dengan adat Minangkabau. Sebab tanah adalah kepunyaan komunal atau kaum di Minangkabau.

Siti Manggopoh pun sempat mengalami kegalauan. Dirinya dihadapkan pada panggilan melawan kezaliman Belanda sementara disisi lain rasa keibuan terhadap anaknya, Dalima yang saat itu masih bayi.

Siti pun bangkit dari kegalauan. Ia memutuskan untuk memimpin perlawanan terhadap Belanda. Ia mengumpulkan menyusun siasat sedemikian rupa untuk menyerbu benteng belanda di Mangopoh melakukan perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan Tentara Kolonial Belanda.

Pada tanggal 16 Juni 1908, tengah malam, Siti Manggopoh yang waktu itu berusia sekitar 28 tahun memimpin 16 orang rekannya melakukan penyerbuan ke Benteng pasukan kavaleri Belanda di Ketinggian, wilayah antara Bukit Bunian Berpuncak Tujuh, jaraknya dua kilo meter dari Pasar Manggopoh.

Dalam penyerbuan tersebut 53 dari 55 pasukan Belanda berhasil dibunuh oleh Siti Manggopoh bersama rekan-rekannya hanya dengan bersenjatan ruduih (golok) dan keris. Dua orang tentara belanda berhasil menyelamatkan diri dalam keadaan luka parah

Belanda pun marah besar. Mereka mengirim tentara dalam jumlah cukup besar guna memburu Siti dan kawanannya. Siti bersama suami dengan membawa anaknya, Dalima kemudian melarikan diri ke hutan guna menghindari kejaran pihak Belanda.

Setelah 17 hari menghindar dari kejaran tentara Belanda, Siti dan Rasyid Bagindo Magek ahirnya menyerahkan diri kepada penguasa belanda. Mereka pun dihadapkan ke pengadilan.

Siti ditahan di penjara Lubuk Basung selama 14 bulan. Lalu dipindah ke penjara di Pariaman selama 16 bulan dan penjara Padang selama 12 bulan lamanya. Selama menjalani masa tahanan Siti diperbolehkan mengasuh putrinya Dalima.

Siti pun kemudian dibebaskan lantaran masih memiliki anak yang masih sangat kecil. Namun Siti tidak merasa bahagia sebab suaminya, Rasyid Bagindo Magek dijatuhi vonis hukum buang ke Menado oleh Belanda. Bagi Siti perpisahan dengan suaminya adalah hukuman yang terberat. Siti kemudian mengajukan permohonan agar dirinya dapat bersama dengan suami dipindahkan ke Manado, namun permohonn tersebut tidak dikabulkan pihk Belanda. Rasyid yang menjalani hukuman di Menado pun ahirnya meninggal di Tondano.

Siti Manggopoh meninggal pada 20 Agustus 1965 dalam usia 85 tahun. Jenazahnya di makamkan di Taman Makam Pahlawan Padang, Sumatera Barat. (Man)

BACA JUGA:

  1. Lopian Srikandi Tanah Batak
  2. Inggit Ganarsih, "Kartini" yang Dilupakan
  3. Motivasi RA Kartini untuk Kaum Perempuan
  4. Hari Kartini, Ini Pesan Airin Rahmi Diany Untuk Perempuan
  5. Trio Srikandi, Inspirasi "Kartini" Muda Dunia Olahraga
#Minangkabau #Sosok Menginspirasi #Siti Manggopoh
Bagikan
Ditulis Oleh

Selvi Purwanti

Simple, funny and passionate. Almost unreal

Berita Terkait

Foto Essay
Tradisi Manumbuk Ampiang: Kiprah Mak-mak Talang Babungo dalam Melestarikan Cita Rasa Minangkabau
Mak-mak memasak Ampiang kuliner warisan budaya Khas Minangkabau di Jorong Tabek, Talang Babungo, Solok, Sumatera Barat, Minggu (3/8/2025).
Didik Setiawan - Rabu, 06 Agustus 2025
Tradisi Manumbuk Ampiang: Kiprah Mak-mak Talang Babungo dalam Melestarikan Cita Rasa Minangkabau
Indonesia
Sosok Mbok Yem, ‘Penyelamat’ Pendaki di Puncak Gunung Lawu yang Kini Telah Tiada
Mbok Yem meninggal dunia pada usia 82 tahun, meninggalkan jejak kenangan yang tak tergantikan di hati para pendaki.
Ananda Dimas Prasetya - Kamis, 24 April 2025
Sosok Mbok Yem, ‘Penyelamat’ Pendaki di Puncak Gunung Lawu yang Kini Telah Tiada
Fun
Sepak Terjang Jet Lee, CEO OPPO Indonesia hingga Pendiri J&T
Keberhasilan Oppo di Indonesia tidak lepas dari peran seorang visioner, Jet Lee.
Ananda Dimas Prasetya - Kamis, 13 Maret 2025
Sepak Terjang Jet Lee, CEO OPPO Indonesia hingga Pendiri J&T
Fun
Jangan Berkecil Hati, 5 Konglomerat Ini Datang dari Keluarga Broken Home
Kondisi broken home tidak menjadi hambatan bagi lima sosok ini untuk capai kesuksesan.
Ananda Dimas Prasetya - Kamis, 10 Oktober 2024
Jangan Berkecil Hati, 5 Konglomerat Ini Datang dari Keluarga Broken Home
Bagikan