Kelenteng Poncowinatan, Rumah Ibadahnya Tionghoa Yogyakarta


Kelenteng Poncowinatan tercatat sebagai salah satu kelenteng tertua di Yogyakarta (Foto: jogyapanduanwisata.id)
MerahPutih Budaya - Ketika tingginya hiruk pikuk pedagang dan pembeli Pasar Kranggan, Jetis, Kota Yogyakarta, ada pula orang-orang yang keluar masuk ke sebuah bangunan berwarna merah. Bangunan itu tepat berdiri di belakang Pasar Kranggan. Tak ayal, halaman depan bangunan merah kelenteng Poncowinatan tersebut kerap ada saja yang menjadikannya lapak parkir.
"Kelenteng Poncowinatan". Begitu plang namanya. Kamis (4/2), merahputih.com berkesempatan masuk ke dalam kelenteng. Menyusuri dan memandangi segala sisi bangunan merah tersebut.
Di dalamnya satu dua orang sibuk membersihkan beberapa ornamen. Mereka yang membersihkan ialah, satu perempuan dan satu laki-laki. Sementara di sisi kanan dari dalam, tiga orang duduk berbincang santai.
"Pengurusnya ini, Mas Margo Mulyo. Pengurus yang paling suhu dibandingin kami dua," kata salah seorang di antara mereka, sambil menunjuk orang yang disebut-sebut sebagai Mas Margo.
Kelenteng Tertua di Yogyakarta
Dengan santai dan ramah ketiganya mempersilakan merahputih.com untuk duduk bersama, sambil menanyakan maksud kedatangan. Dengan mengutarakan maksud kedatangan, Mas Margo mulai berbicara tentang kelenteng ini.
Sebelum menceritakan tentang sejarah kelenteng, pria yang bernama Tionghoa Tjia Tjiek Su ini, mengeluarkan kata-kata ramah-tamah. Uniknya, dialek bicaranya sangat kental akan dialek Jawa.
Kelenteng ini bernama Kelenteng Zen Ling Gong. Namun, orang-orang biasa menyebut Kelenteng Poncowinatan, karena terletak di Jalan Poncowinatan No. 16, Jetis, Kota Yogyakarta, atau hanya 400 meter dari Tugu Pal Yogyakarta. Margo menyatakan, berdirinya kelenteng pada tahun 1880-an. "Ini sudah berusia lebih 130 tahun, kelenteng tertua di sini (Yogyakarta). Lebih tua dari kelenteng di Jalan Katamso (Yogyakarta)," kata Margo.
Margo menambahkan awal pendiriannya tidak terlepas dari peran Sri Sultan Hameng Kubuwono VII. Tanah pembangunannya menggunakan tanah kesultanan, seluas 2.000 meter persegi. "Ini hibah dari Sri Sultan dulu. Kalau di Jalan Katamso, Gondomanan, bentuknya hadiah," katanya menegaskan.
Di kelenteng ini terdapat 17 altar, dengan altar utama Kwan Kong berada di tengah dari 16 altar lainnya. Sementara posisi ke-16 altar berada di sekeliling bangunan.
Di awal pendiriannya, Kelenteng Poncowinatan untuk tempat beribadah. Namun, seiring waktu, pada 1907, juga dijadikan sebagai tempat pendidikan. "Sekarang udah nggak ada. Terakhir pas masa-masa awal Soeharto, ketika ada dimulainya isu sara, sentimen politik kan," imbuhnya.
Waktu Ramainya Peziarah
Di Kelenteng Poncowinatan, umat beribadah pada tanggal 1 dan tanggal 15, sesuai kalender China. Sejak dahulu hingga saat ini, kelenteng selalu menjadi pilihan utama umat yang berada di Yogyakarta.
"Kami di sini udah menyatu jadi Jawa. Ritualnya aja, pada saat-saat ibadah tertentu, kami pakai tumpeng. Sama kayak tradisi Jawa. Isi tumpengnya sama aja, sama persis. Maksud dan filosifinya juga, yang gunungan tumpeng, ya podo wae. Lihat juga itu (sambil menunjuk salah satu sisi dinding bangunan), ada ornamen daun pisang. Tradisi asli Cina mana ada seperti itu. Arti daun pisang di Jawa tau gak? Artinya keteduhan," paparnya.
Salah seorang pengurus lagi, tepat di sebelah Mas Margo, bernama Febri, menjelaskan, umumnya umat yang beribadah di Kelenteng Poncowitaman telah membumi. Artinya, mencoba mengikuti tradisi di mana mereka berada. "Makanya kami bisa bahasa Jawa. Kalau bahasa China, kami malah nggak bisa. Tionghoa yang gak bisa bahasa China," katanya sambil tertawa.
Mas Margo melanjutkan, Kelenteng Poncowinatan merupakan kelentengnya umat Kong Hu Cu. Sementara kelenteng yang ada di Jalan Katamso, Gondokusuman, merupakan kelenteng umat Buddha. Menurutnya, saat Imlek banyak persepsi bahwa semua kelenteng yang beribadah ialah kelentengnya umat Buddha. "Beda. Dari segi keagamaan saja beda.
Buddha panutannya Gautama, kalau kami Kong Hu Cu. Bedanya lagi, salah satunya, kalau Buddha ada tentang surga atau mereka sebut Nirwana. Nah, kami nggak ada. Ajaran kami semua tentang kehidupan itu sendiri. Setelah mati, nggak tau apa-apa. Prinsipnya nanti setelah kematian ya pertanggungjawaban, beda kan kalau ada surga nerakanya. Prinsipnya balasan," katanya menjelaskan.(fre)
BACA JUGA:
Bagikan
Berita Terkait
20 Ucapan Selamat Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili pada 29 Januari 2025

Termasuk Event 10 Besar Terbaik Indonesia, Cap Go Meh di Singkawang Digelar 12 Februari

Mengenal Makna Dalam Tradisi Imlek 'Yu Sheng'

Rekomendasi Tempat untuk Rayakan Imlek di Dubai

Menilik Nian Gao "Hoki" Kue Keranjang Tradisi Perayaan Tahun Baru Imlek Simbol Kemakmuran

Sambut Tahun Baru Imlek 2025, Hennessy Rilis Kolaborasi Artistik Bersama Shuting Qiu

Yu Sheng, Menu Paling Autentik saat Perayaan Imlek

Pesta Kembang Api Selama 30 Menit Siap Meriahkan Puncak Imlek 2576 di Solo, 5.000 Lampion Dipasang di Jalan

Filipina Gelar Prosesi Religius Black Nazarene yang Terkenal, Jalanan Manila Dipenuhi Ratusan Ribu Umat Katolik

Imlek 2025 Tanggal Berapa? Lengkap dengan Makna Shio Ular Kayu dan Jadwal Cuti Bersama
