Jika Syarat Ini Terpenuhi, Jokowi Bakal Jatuh


Aktifis yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Banten (ALMABA) menggelar aksi teatrikal saat berunjuk rasa untuk mengkritik kebijakan Presiden Jokowi (Foto: Antara Foto/Asep Fathul Rahman)
MerahPutih Politik - Beberapa waktu silam Politikus Partai Gerindra Arief Poyuono pernah berkata bahwa Presiden Joko Widodo berpeluang akan dilengserkan di tengah jalan.
Caleg gagal dari Daerah pemilihan (dapil) Kalimantan Barat itu menuding bahwa Jusuf Kalla (JK) adalah orang yang paling mungkin untuk menjatuhkan Presiden Joko Widodo, atau yang akrab disapa Jokowi.
Terkait dengan hal tersebut, pemikir politik Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menilai bukan perkara mudah untuk menggulingkan rezim pemerintahan Jokowi-Kalla. (Baca: Jokowi Digulingkan, Mungkinkah?)
Karyono mengakui sejauh ini ada segelintir elite politik dan sebagian kecil kelompok masyarakat yang kecewa dengan pemerintahan Jokowi-Kalla. Namun demikian, jika mereka menggalang kekuatan massa untuk menjatuhkan rezim Jokowi tetap saja tidak akan mampu.
"Dukungan massa itu kecil sekali," katanya saat dihubungi merahputih.com, Senin malam (23/3).
Selain itu Karyono menambahkan, untuk menggulingkan Presiden dan Wakil Presiden harus melalui jalan panjang, mulai dari sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemudian dilanjutkan dengan sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dihadiri 3/4 anggota. Bukan hanya itu, DPR RI juga harus mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait tudingan bahwa Presiden dan Wakil Presden telah melakukan pengkhianatan.
"Jadi itu prosesnya panjang sekali. Bagaimana DPR Mau ajukan mosi tidak percaya dan mengajukan gugatan ke MK? Padahal saat ini dukungan DPR RI kepada Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla sudah kuat," tanya Karyono.
Lantas bagaimanakah proses pemakzulan terhadap Presiden dan Wakil Presiden?
Informasi yang dihimpun merahputih.com, untuk memberhentikan Presiden, setidaknya dibutuhkan 3 lembaga, yaitu DPR RI, MPR RI dan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Pasal 7A UUD 1945 hasil Amademen, seorang Presiden dapat dimakzulkan ditengah jalan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Usulan tersebut bisa diajukan apabila Presiden melanggar perbuatan hukum, melakukan pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Selanjutnya pada pasal 7 B UUD 1945 hasil Amandemen dijelaskan, sebelum mengusulkan kepada MPR, DPR RI juga terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR RI yang menuding Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Syarat pengajuan DPR ke MK harus mendapat dukungan 2/3 anggota DPR RI atau sekitar 372 dari total 560 anggota DPR RI. (Baca: Ambisi Menag Dirikan Universitas Islam Berskala Internasional)
Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
MPR sendiri yang terdiri atas (560 anggota DPR RI dan 132 anggota DPD) harus menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. (Baca: Menag: Radikalisme Bukan Hanya Bersumber dari Ajaran Agama)
Adapun, Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. (bhd)