Kurukshetra dan Kampung Begal

Widi HatmokoWidi Hatmoko - Sabtu, 18 Maret 2017
Kurukshetra dan Kampung Begal
ILUSTRASI (suaragratiafm.wordpress)

Apa yang diungkapkan oleh warga kampung yang sudah setengah ludes itu, tetap saja akan menjadi cerita, dan hanya akan mewariskan peristiwa-peristiwa yang sama di kemudian hari. Buktinya, ketika hukum sudah tidak mampu merambah, mereka menganggap pengadilan masa dinilai mujarab untuk mencegah.

Entah benar entah salah, tetapi, buat mereka, yang pasti hanya butuh hidup aman, tanpa seorang pun mengusik serta mengganggu. Bagaimana ceritanya? Lihat saja; tombak, parang, golok, badik, linggis, arit, bensin, korek api, dan segala rupa peralatan yang bisa dijadikan alat untuk membunuh, dibawa, dan seolah bisa membuat hidup mereka menjadi tenteram.

Konflik pun tidak bisa dihindari. Suasana kampung di pinggir perkebunan kelapa sawit itu menjadi seperti Padang Kurukshetra—tempat berlangsungnya perang Bharatayudha. Orang-orang yang menurut mereka ini adalah sebagai biang keladi—penyebab setiap kali sapi, kambing, atau motor itu raib entah ke mana—yang menjadi pemicunya.

Namun meskipun ia dituding sebagai pemicu, mereka bukanlah patung yang hanya diam jika dijewer, dicubit, ditonjok, ditendang, atau diludahi sekalipun. Ketika satu di antara mereka disakiti, semua ikut merasakan. Dari situlah, mereka melawan, bahkan akan menghimpun masa yang lebih besar lagi. Terlebih, mereka menilai tanah itu adalah milik moyangnya, yang telah turun-temurun beranak-pinak dan mewariskan generasi ke generasi.

“Ini adalah tanah moyang Kami! Kenapa Kami diusik? Kenapa Kami dituduh maling? Hutang nyawa dibayar nyawa!” Teriak mereka sepanjang jalan, sambil menghunus badik, golok, parang, dan tombak.

Mereka merasa dirinya adalah benar. Begitu pun sebaliknya, orang-orang yang kehilangan sapi, kambing, atau motor yang raib entah ke mana itu, juga mengaku apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah kesalahan.

“Warga Kami sudah terlalu lama bersabar! Selama ini, sapi, kambing, atau motor Kami raib, mereka lah yang menggasak. Mereka itu para bencoleng, maling, begal! Mereka juga tinggal dalam satu kampung, yang isinya orang-orang yang sama. Kami jarang mendengar mereka ini ditangkap polisi, atau dipenjara. Kalau pun ada yang tertangkap, begitu gampang mereka melenggang keluar sebelum masa tahanannya habis di dalam penjara. Itu yang menjadikan warga Kami geram, dan mengambil langkah hukum dengan cara-cara Kami. Maksudnya, agar mereka tidak lagi mengusik Kami!” Ungkap salah seorang warga kampung setengah teriak.

#Aksi Begal #Teror Begal #Cerpen Merah Putih
Bagikan
Ditulis Oleh

Widi Hatmoko

Menjadi “sesuatu” itu tidak pernah ditentukan dari apa yang Kita sandang saat ini, tetapi diputuskan oleh seberapa banyak Kita berbuat untuk diri Kita dan orang-orang di sekitar Kita.
Bagikan